ads

negri Ads

Minggu, 12 April 2009

Perlindungan Hukum Bagi Buruh Migran Indonesia

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan BAB VI Pasal 31 disebutkan bahwa Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. Hak dan kesempatan ini terkadang dislahkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, khususnya para pekerja yang akan dikerjakan atau ditempatkan untuk bekerja di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI).Dari mulai sebelum pemberangkatan, mereka disekap dalam kamar atau rumah, seolah seperti barang yang akan diperjual belikan. Bahkan ada buruh yang mengisahkan dianiyaya di tempat penampungan mereka sebelum mereka berangkat. Setelah diberangkatkan ke luar negeri, belum tentu mereka mendapat pekerjaan yang sesuai dengan janji penyelenggara sebelum diberangkatkan. Dan lebih parah lagi setelah mereka diperkerjakan, misalnya sebagai buruh rumah tangga, mereka tidak mendapat gaji dan perlakuan yang layak. Sampai sekarang masih ada saja berita tentang buruh yang pulang ke Indonesia dalam keadaan babak belur tanpa gaji, dan bahkan ada yang pulang dengan nama dan jasadnya saja. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat mereka adalah salah satu penyumbang pendapatan Negara melalui kerjanya di luar negeri (devisa)Sebagai contoh, data pada tahun 2004 ribuan pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia sedang dilecehkan karena kebijakan pemerintah di kedua negara itu gagal melindungi mereka, menurut Human Rights Watch dalam sebuah laporannya, 90 persen lebih dari 240.000 pekerja rumah tangga di Malaysia adalah warga negara Indonesia. Laporan Human Rights Watch mendokumentasi bagaimana mereka biasa bekerja keras enambelas hingga delapanbelas jam sehari, tujuh hari seminggu, dan digaji kurang dari U.S.$0,25 per jam. Buruh migran di seluruh dunia mengirim lebih dari $90 milyar ke negara berkembang, melebihi bantuan dana asing. Jumlah buruh migran yang perempuan makin meningkat. Di Indonesia, 76 persen dari semua buruh migran sah di tahun 2002 adalah perempuan. Sebagian besar buruh migran perempuan bekerja di sektor-sektor yang bergaji rendah dan tidak diregulasi, seperti sektor rumah tangga.Kontribusi TKI pada devisa negara meningkat dari tahun ke tahun: 1,1 miliar dollar AS (2001), 3,1 miliar dollar (2002), dan diharapkan mencapai 5 miliar dollar pada tahun 2004. Sedangkan kalau kita melihat pos anggaran perlindungan buruh migran sangatlah tidak signifikan disbanding dengan kontribusi yang telah disumbangkan buruh migran Indonesia melalui remitansi. Menurut Depnakertrans RI, hingga semester I tahun 2006 ini saja remitansi buruh migran sudah mencapai 15 trilyun rupiah.Dalam APBN 2006, pos anggaran yang terdeteksi langsung untuk perlindungan buruh migran hanyalah berjumlah Rp. 40.500.000 saja (dengan rincian Rp 13.900.000 untuk penanganan kasus mediasi, Rp 13.300.000 untuk penanganan kasus litigasi dan Rp. 13.300.000 untuk sweeping. Tentu jumlah ini tidaklah memadai untuk penanganan masalah buruh migran Indonesia yang jumlahnya telah mencapai kurang lebih 4,5 juta yang bekerja di berbagai negara.Reformasi Penempatan dan Perlindungan TKI dan menyerukan agar ada perampingan birokrasi penempatan buruh migran Indonesia. Di samping itu terdapat wacana tentang pembentukan institusi baru dalam pengelolaan penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia. Badan baru ini, sesuai mandat UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar negeri, akan bernama Badan nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNPPTKI). Namun demikian, hingga saat ini wacana tersebut belum terwujud secara konkrit.Jika memang institusi baru ini dibentuk karena mandat UU No. 39/2004 (terlepas dari kritik mendasar atas kelemahan UU ini), seharusnya yang lebih dulu dirintis adalah peraturan pelaksanaan dari UU ini. Sejak UU ini resmi diundangkan dalam Lembaran Negara pada akhir Oktober 2004 hingga saat ini, belum ada satupun Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden dibuat sebagai instrument pelaksana UU ini. Yang baru dibuat hanyalah Peraturan Menteri yang didalam hirarki perundang-undangan bukan merupakan produk hukum yang mengikat. Keanehannya adalah UU yang mandatnya mengikat seluruh wilayah hukum Indonesia, hanya diimplementasikan dalam bentuk Keputusan Menteri yang hanya mengingat di Departemen teknis.Instrument pokok yang seharusnya segera disusun adalah pengikatan secara hukum internasional dalam kebijakan penempatan buruh migran, baik dalam bentuk bilateral agreement dan penyepakatan instrument multilateral. Tanpa instrument ini, BNPPTKI hanya merupakan institusi tanpa gegret. Dilihat dari polanya, pendirian BNPPTKI ini mengacu pada migrant workers governance yang diterapkan Philipina. Di negara tetangga ini memiliki institusi khusus yaitu POEA (Philippines Overseas Employment Agency) dan institusi ini dilengkapi instrument proteksi yang terlembagakan dalam aktivitas perwakilan di luar negeri (Atase Ketenagakerjaan dan Crisis centre) dan juga komitmen multilateral dengan meratifikasi UN Convention on the Protection of The Rights of All migrant Workers and Members of their Families dan aktif menjadi anggota UN Committee of Protection on Migrant Workers.Keberadaan Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja Luar Negeri yang sudah berjalan hampir tiga tahun sekedar memberi legitimasi hukum. Kecenderungan yang ada selama ini menyangkal keberadaan para pekerja yang bermigrasi tanpa dokumen resmi. Proses migrasi dari tenaga kerja kita dianggap sebagai permasalahan prosedural belaka dan bukan sebagai persoalan HAM. Untuk itu diperlukan hokum positif yang mempunyai kekuatan internasional, baik melalui perjanjian bilateral dan multilateral, dan mengikuti ratifikasi konvensi-konvensi yang dipelopori oleh International Labor Organization (ILO).

1 komentar: