(Lanjutan : PIHAK DALAM PERKARA)
Berkaitan dengan persyaratan isi gugatan tidak diatur dalam HIRmaupun RBg. Persyaratan mengenai isi gugatan ditemukan dalam pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat :
1. Identitas Para pihak, yang meliputi: Nama (beserta bin/binti dan aliasnya), umur, agama, pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “dahulu bertempat tinggal di….. tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia, dan kewarganegaraan (bila perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara itu harus disebut secara jelastentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai penggugat, tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon. Dalam praktik dikenal pihak yang disebut turut tergugat dimaksudkan untuk mau tunduk terhadap putusan pengadilan. Sedangkan istilah turut penggugat tidak dikenal. Untuk menentukan tergugat sepenuhnya menjadi otoritas penggugat sendiri.
2. Fundamentum Petendi (Posita), yaitu penjelsan tentang keadaan / peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat. Posita memuat dua bagian: (a) alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum, dan (b) alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam putusan nantinya.
3. Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum / tuntutan yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.
Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu: (a) tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut), (b) tuntutan tambahan, merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti dalam hal perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak, mut’ah, nafkah idah, dan pembagian harta bersama, dan (c) tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima majelis hakim. Biasanya kalimatnya adalah “agar majelis hakim mengadili menurut hukum yang seadil-adilnya “atau” mohon putusan yang seadil-adilnya” bias juga ditulis dengan kata-kata “ex aequo et bono”.
E. 4. Gugatan Lisan dan/atau Tertulis
Semua gugatan / permohonan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi dimungkinkan bagi penggugat / pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan / permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. Kemudian Ketua Pengadilan yang berwenang tersebut memerintahkan kepada hakim untuk membuatkan surat permohonan / gugatan dengan cara mencatat dan memformulasikan segala sesuatu yang dikemukakan oleh peenggugat / pemohon dan membacakannya, kemudian surat gugatan / permohonan tersebut ditandatangani ketua/hakim yang membuatkannya itu, hal ini berdasar ketentuan Pasal 114 (1) R.Bg. atau Pasal 120 HIR. Sementara penggugat tidak tidak perlu tanda tangan atau membubuhkan cap jempolnya dan juga tidak usah diberi materai.
Dalam praktik proses pengajuan gugat secara lisan bagi buta huruf dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Gugatan disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang.
2. Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan mencatat segala peristiwa yang disampaikan penggugat, kemudian diformulasikan dalam bentuk surat gugat.
3. Gugatan yang diformulasikan tersebut dibacakan untuk penggugat dan ditanyakan kepadanya tentang isi gugatan itu, apakah sudah cukup atau masih perlu ditambah, dikurangi atau diubah.
4. Gugatan yang dinyatakan cukup oleh penggugat, maka Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk tersebut untuk menandatanganinya.
Adapun gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, harus ditandatangani oleh penggugat / pemohon (Pasal 142 (1) R.Bg. / Pasal 118 (1) HIR). Apabila pemohon / penggugat telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan / permohonan harus ditandatangani oleh kuasa hukumnya tersebut (Pasal 147 (1) R.Bg. / Pasal 123 HIR).
Surat gugatan / permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk penggugat/ pemohon, satu rangkap untuk tergugat/ termohon atau menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya. Apabila surat gugatan/ permohonan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir oleh panitera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar