(Lanjutan : Pengertian Peradilan dan Pengadilan)
D. 1. Bentuk Surat Gugatan / Permohonan
Gugatan (permohonan) harus diajukan dengan surat gugatan (permohonan), yang ditandatangani oleh penggugat (pemohon) atau wakilnya. Karena gugatan harus diajukan dengan surat gugatan (permohonan), maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan mengajukan gugatan (permohonan)secara lisan kepada ketua pengadilan apa dan dimana yang berwenang mengadili untuk dibuatkan surat gugatan (permohonan), di samping itu ketua pengadilan tersebut berwenang memberikan bantuan petunjuk seperlunya kepada penggugat (pemohon) atau kuasanya tentang cara-cara mengajukan surat gugatan (permohonan).
Ada dua bentuk teori gugatan (permohonan), yaitu “subtantie theorie” dan “Individualisering theorie”.
1. Substantie Theorie
Menurut teori substansi, penggugat (pemohon) harus mengemukakan dalam surat gugatannya (permohonan) bukan hanya peristiwa hukumnya saja, akan tetapi sekaligus mengemukakan kenyataan-kenyataan yang menimbulkan terjadinya peristiwa-peristiwa hukum. Misal penggugat (pemohon) ingin menuntut barangnya yang dikuasai oleh tergugat, supaya dikembalikan kepadanya. Maka tidak cukup hanya dengan mengemukakan alasan-alasan bahwa barang itu (yang digugat) adalah miliknya, akan tetapi harus menyebutkan juga mengenai asal usul barang warisan bukan harta bersama dan lain-lain.
2. Individualisering theorie
Menurut teori ini bahan-bahan kenyataan itu asal dikemukakan begitu rupa, sehingga tidak merugikan orang lain, artinya tidak perlu mengemukakan asal usul pemilikan atas barang itu, dan teori ini dianut oleh system peradilan di Indonesia pada umumnya.
Hukum acara yang berlaku pada peradilan-peradilan di Indonesia menganut system “formalistis”, artinya jika dalam surat gugatan (permohonan) terdapat sedikit saja kesalahan, maka dapat menyebabkan kekalahan bagi penggugat (pemohon), untuk itulah HIR mengatur apabila terdapat kekurang jelasan dalam surat gugatan (permohonan), penggugat diminta untuk menjelaskan maksudnya di muka persidangan.
Macam-macam gugatan (vordering) itu antara lain :
a. Tuntutan Perorangan (personlijk) obyeknya adalah tuntutan pemenuhan ikatan karena persetujuan dan karena undang-undang.
b. Tuntutan Kebendaan (zakelijk) yaitu suatu penuntutan penyerahan suatu barang sebagai obyek dari pada hak benda atau pengakuan hak benda.
c. Tuntutan Campuran (gabungan antara personlijk dan zakelijk) adalah campuran dari tuntutan perorangan dengan kebendaan, penggolongan tersebut dapat dilihat dalam dictum (bagian terakhir dari suatu putusan dan merupakan kalimat di bawah mengadili).
Gabungan (commulatie) dari beberapa gugatan (samenvoeging) dapat dibedakan antara commulatie subyektif dan commulatie obyektif;
a. Commulatie Subyektif, dalam suatu perkara perdata seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat atau sebaliknya, yakni beberapa orang penggugat melawan seorang tergugat, contoh gugatan perkara kewarisan, para ahli waris adalah merupakan commulatie subyektif (subyeknya banyak).
b. Commulatie Obyektif, ialah gugatan yang diajukan kepada seseorang dalam satu perkara yang berisi beberapa tuntutan, sebagai contoh gugatan perceraian, yang di dalamnya terdapat pertama tuntutan perceraian, kedua tuntutan harta bersama, ketiga tuntutan penguasaan anak dan sebagainya. Jadi dalam commulatie obyektif, obyek tuntutannya banyak.
Surat gugatan harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya, yang dimaksud wakil dalam hal ini adalah seorang kuasa, yakni seorang yang dengan sengaja telah menguasakan perkaranya kepada seseorang berdasar suatu surat kuasa khusus, untuk membuat dan menandatangani surat gugatan (permohonan). Karena surat gugatan ditandatangani oleh yang diberi kuasa, maka tanggal surat gugatan (permohonan) harus lebih muda dari pada tanggal yang terdapat dalam surat kuasa.
Surat gugatan (permohonan) harus bertanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat dan tergugat, tempat tinggal mereka dan kalau perlu jabatan formal / informal penggugat dan tergugat, surat gugatan tertulis bagi yang mampu baca tulis, dan bagi yang buta aksara gugatan (permohonan) diajukan dengan cara lisan sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan di atas, dan surat gugatan (permohonan) ditulis di atas kertas yang dibubuhi materai.
Dalam pembahasan gugatan lisan dan tulisan ada hal-hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan masalah gugatan, sebab ketentuan Pasal 118 HIR / 142 RBG, gugatan harus diajukan dengan surat gugatan dan ditandatangani oleh Penggugat atau orang yang diberi kuasa untuk itu, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat tinggal tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka diajukan di tempat tergugat sebenarnya berdiam. Menurut hukum acara perdata peradilan agama, dalam hal cerai gugst ysng disjuksn oleh istri, maka gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat (istri).
Di daerah di mana berlaku RBg, maka surat kuasa (permohonan) harus dibuat di hadapan notaries (berupa akte otentik) atau di depan pengadilan atau di depan camat. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 1964 (tanggal 30 April 1964) bahwa surat kuasa dapat dibuat di bawah tangan, asalkan sidik jari (cap jempol) dari si pemberi kuasa disahkan (diligalisir) oleh ketua pengadilan / bupati dan juga boleh camat.
Mengenai orang yang diberi kuasa oleh penggugat maupun oleh tergugat, di samping dapat diberikan kepada advokat / pengacara / pengacara praktik, dapat pula kuasa diberikan kepada orang lain, misalnya dari kalangan keluarga yang tidak menjadikan hal itu sebagai pekerjaan atau mata pencaharian. Kuasa kepada orang lain dimaksud, memerlukan surat kuasa dan didaftarkan ke pengadilan dimana perkara itu akan diperiksa, untuk itu diberikan ijin khusus untuk satu perkara oleh pengadilan yang bersangkutan.
Dasar gugatan yang biasa disebut fundamentum petendi, ataupun posita gugatan, harus memuat secara jelas duduknya perkara maupun menurut alasan berdasar hukum, misalnya dari beberapa alas an perceraian sebagaimana yang disebutkan dalam UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), maka alas an yang mana di antara beberapa alas an itu yang dijadikan dasar gugatan.
Apabila masalah warisan, dapat disebutkan permintaan untuk membaginya menurut hukum Islam (faroid). Kemudian permohonan itu diakhiri dengan apa saja yang diminta untuk diputuskan secara terperinci, tentang mana yang diminta ditetapkan dan mana pula yang diminta untuk diperintahkan dan dihukum kepada tergugat. Bagian ini disebut sebagai “petitum gugatan” yang nantinya akan menjadi dictum atau amar dari putusan hakim, jika dikabulkan. Lazimnya permintaan yang paling akhir urutannya, dirumuskan dalam kata-kata “subsidair” mohon putusan lain yang dianggap adil, dengan adanya permohonan putusan “subsidair”, memungkinkan hakim memberikan putusan lain dari apa yang dimintakan diputus apabila hal-hal yang diminta secara tegas dan terperinci di atasnya tidak dapat dikabulkan hakim. Sebab ada larangan bagi hakim untuk memutus lebih dari apa yang dimintakan dan hanya wajib memutuskan semua bagian yang diminta pada petitum.
D. 2. Kemana Gugatan Diajukan
Ke mana gugatan / permohonan diajukan? Secara garis besar Pasal 118 HIR / 142 RBG secara lengkap mengatur hal tersebut, yakni:
1. Gugatan perdata dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri (Agama), harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat. Yang dimaksud dengan tempat tinggal menurut pasal 17 BW adalah tempat dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya. Hal ini dapat dilihat dari Kartu Tanda Penduduk.
2. Apabila tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukanpada Pengadilan Negeri (Agama) tempat kediaman tergugat. Hal ini dapat dilihat dari rumah tempat kediamannya.
3. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal slah seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari tergugat, jadi penggugat yang menentukan dimana akan mengajukan gugatannya.
4. Apabila pihak tergugat ada dua orang, yaitu yang seorang misalnya adalah yang berhutang dan yang lain menjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri (Agama) pihak yang berhutang. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan, bahwa secara analogis dengan ketentuan tersebut, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat.
5. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman Tergugat tidak diketahui. Gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) tempat tinggal Penggugat, atau
6. Kalau gugatan itu tentang benda tidak bergerak, dapat juga diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) dimana barang tetap itu terletak dalam beberapa daerah hukum Pengadilan Negeri (Agama), maka gugatan diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri (Agama), menurut pilihan penggugat.
Ada beberapa pengecualian dari ketentuan HIR/RBG tersebut yang mengatur tentang kemana gugatan itu diajukan. Ketentuan pengecualian tersebut terdapat dalam BW, RV, dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), yaitu:
1. Apabila dalah hal tergugat tidak cakap untuk menghadap di muka pengadilan, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) orang tuanya, walinya atau pengempunya (Pasal 21 BW).
2. Yang menyangkut pegawai negeri, yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri (Agama) di daerah mana ia bekerja (Pasal 20 BW).
3. Buruh yang menginap di majikannya, yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri (Agama) tempat tinggal majikan (Pasal 22 BW).
4. Tentang hal kepailitan yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri yang menyatakan tergugat pailit (Pasal 99 ayat (15) RV).
5. Tentang penjamin (vrijwaring) yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri (Agama) yang pertama dimana pemeriksaan dilakukan (Pasal 99 ayat (14) RV). Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan HIR/RBG tersebur dimana gugatan diajukan kepada pihak yang berhutang.
6. Yang menyangkut permohonan pembatalan perkawinan, diajukan kepada Pengadilan Negeri (Agama) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri (Pasal 25 jo. 63 (1b) UU No. 1/1974 dan Pasal 38 (1 dan 2) PP. No. 9/1975.
7. Dalam tergugat bertempat tinggal di luar negeri, gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat dan Ketua Pengadilan Negeri (Agama) menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal40 j0. Pasal 63 (1b) UU No. 1/1974, Pasal 20 (2 dan 3) PP No. 9/1975).
Sistem hukum acara perdata peradilan di Indonesia, ada yang berlaku secara umum sebagaimana diuraikan di atas, dan ada juga yang berlaku secara khusus, yakni berlaku di lingkungan Peradilan Agama yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Pasal 66 UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama (pasal ini tidak mengalami perubahan dalam UU No. 3 Tahun 2006) mengatur masalah cerai talak yang diajukan oleh seorang suami terhadap istrinya :
1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikan ikrar talak.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa ijin pemohon.
3. Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pasal 73 UU No.7 Tahun 1989 yang tidak mengalami perubahan dalam UU No. 3 Tahun 2006 mengatur masalah cerai gugat yang dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya :
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin tergugat.
2. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan Jakarta Pusat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar