ads

negri Ads

Rabu, 16 Desember 2009

UUD 1945

UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
(yang dipadukan dengan Perubahan I, II, III & IV)
PEMBUKAAN
(Preambule)
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat
yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
BAB I
BENTUK DAN KEDAULATAN
Pasal 1
(1) Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik.
* (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.
* (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
* Perubahan III 9 November 2001, sebelumnya berbunyi :
(1) Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk
Republik.
(2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 2
* (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di
ibu kota Negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang
terbanyak
* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :
(1) Majelis permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang
ditetapkan dengan Undang-Undang.
*Pasal 3
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar.
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
* Perubahan III 9 November 2001, sebelumnya berbunyi :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang
Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan negara.
BAB III
KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA
Pasal 4
(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar.
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden.
Pasal 5
* (1) Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang
sebagaimana mestinya.
* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :
(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 6
* (1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara
rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagi Presiden dan
Wakil Presiden.
* (2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.
* Perubahan III 9 November 2001, sebelumnya berbunyi :
(1) Presiden ialah orang Indonesia asli.
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.
*Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari
lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya
dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah
jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
* Perubahan III 9 November 2001
* (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua
pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002
* (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dalam undang-undang.
* Perubahan III 9 November 2001
*Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan.
* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
*Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
* Perubahan III 9 November 2001
Pasal 7B
* (1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan
terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
* (2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
* (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi
hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat.
* (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya
terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama
sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima
oleh Mahkamah Konstitusi.
* (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
* (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh
hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
* Perubahan III 9 November 2001
* (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan
penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
* Perubahan III November 2001
*Pasal 7C
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat.
* Perubahan III November 2001
Pasal 8
* (1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai
habis masa jabatannya.
* (2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu
enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang
untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
* Perubahan III November 2001
* (3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan,
pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh
hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan siding untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
yang yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, samapi
berakhir masa jabatannya.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :
Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden
sampai habis batas waktunya.
*Pasal 9
(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah
menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden)
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik
Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
Nusa dan Bangsa”.
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden
Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan
segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti
kepada Nusa dan bangsa”.
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat
mengadakan sidang Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.
* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :
Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah
menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden
Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaikbaiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala Undang-undang dan Peraturannya dengan seluruslurusnya
serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Janji Presiden (Wakil Presiden) :
Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban
Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang
Dasar dan menjalankan segala Undang-undang dan Peraturannya
dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.
Pasal 10
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara.
Pasal 11
* (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002
* (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undangundang
harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
* (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undangundang.
* Perubahan III November 2001, sebelumnya berbunyi :
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan Undang-undang.
*Pasal 13
(1) Presiden mengangkat Duta dan Konsul
(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :
Pasal 13
(1) Presiden mengangkat Duta dan Konsul.
(2) Presiden menerima Duta negara lain.
*Pasal 14
(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.
* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :
Pasal 14
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
* Pasal 15
Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur
dengan Undang-undang.
* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :
Pasal 15
Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.
* Pasal 16
Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan
nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undangundang.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002
* BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
Dihapus.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :
BAB IV
DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
Pasal 16
(1) Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan Undangundang.
(2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden
dan berhak memajukan usul kepada pemerintah.
BAB V
KEMENTERIAN NEGARA
Pasal 17
(1) Presiden dibantu oleh Menteri-menteri negara.
* (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
* (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(3) Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan.
* (4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam
undang-undang.
* Perubahan III 9 November 2001
BAB VI
PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 18
* (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan
daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi :
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistim
Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat
istimewa.
* (2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
* (3) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
* (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
* (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.
* (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
* (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
Pasal 18A
* (1) Hubungan wewenang antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah
propinsi, kabupaten, kota, atau antara propinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah.
* (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
Pasal 18B
* (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
* (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
BAB VII
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Pasal 19
* (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.
* (2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.
* (3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
* Perubahan II 18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi :
(1) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan Undangundang.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun.
Pasal 20
* (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.
* (2) Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
* (3) Jika rancangan Undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan Undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
* (4) Persidangan mengesahkan rancangan Undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi Undang-undang.
* (5) Dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undangundang
tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
Undang-undang dan wajib diundangkan.
* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :
(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan Undang-undang tidak mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak
boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat masa itu.
Pasal 20A
* (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan.
* (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
* (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap
anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
* (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota
Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 21
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan Undang-undang.
* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :
(1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan
rancangan Undang-undang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan
lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 22
(1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
* Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan
undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 22B
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syaratsyarat
dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* BAB VIIA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
* Pasal 22C
(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum.
(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan
jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga
jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undangundang.
* Perubahan III 9 November 2001.
* Pasal 22D
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
* Perubahan III 9 November 2001.
BAB VIIB
PEMILIHAN UMUM
* Pasal 22E
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
* Perubahan III 9 November 2001.
BAB VIII
HAL KEUANGAN
Pasal 23
* (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan
secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
* (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan
oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
* (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
* Perubahan III 9 November 2001, sebelumnya berbunyi :
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun
dengan Undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak
menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah
menjalankan anggaran tahun yang lalu.
(2) Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang.
(3) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-undang.
(4) Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang.
(5) Untuk memeriksa tanggung-jawab tentang keuangan negara
diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya
ditetapkan dengan Undang-undang. Hasil pemeriksaan itu
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
* Pasal 23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan undang-undang.
* Perubahan III 9 November 2001.
* Pasal 23B
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002
* Pasal 23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.
* Perubahan III 9 November 2001.
* Pasal 23D
Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002.
BAB VIIIA
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
* Pasal 23E
(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
(2) Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau
badan sesuai dengan undang-undang.
* Perubahan III 9 November 2001.
* Pasal 23F
(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan
oleh Presiden.
(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.
* Perubahan III 9 November 2001.
* Pasal 23G
(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki
perwakilan di setiap provinsi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan
undang-undang.
* Perubahan III 9 November 2001.
BAB IX
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Pasal 24
* (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
* (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
* Perubahan III 19 November 2001, sebelumnya berbunyi :
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman itu diatur dengan
Undang-undang.
* (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002.
* Pasal 24A
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, meguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
(2) Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung
oleh Presiden.
(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.
(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta
badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.
* Perubahan III 19 November 2001.
* Pasal 24B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di
bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undangundang.
* Perubahan III 9 November 2001.
* Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang
oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi.
(5) Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan
lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.
* Perubahan III 9 November 2001.
Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
Undang-undang.
* BAB IX A
WILAYAH NEGARA
* Pasal 25A
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undangundang.
* Perubahan II, 18 Agustus 2000.
BAB X
WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
* Pasal 26
* (1) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal
di Indonesia.
* (2) Setiap warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Perubahan II 18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi :
WARGA NEGARA
Pasal 26
(1) Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan
dengan undang-undang sebagai Warga Negara.
(2) Syarat-syarat yang mengenai kewargaan negara ditetapkan
dengan undang-undang.
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
* (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.
* BAB XA
HAK ASASI MANUSIA
* Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur,
dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
BAB XI
AGAMA
Pasal 29
(1) Negara berdasar atas Ketuhahan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu.
BAB XII
PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA
Pasal 30
* (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara.
* (2) Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai
kekuatan pendukung.
* (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan
memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
* (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum.
* (5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat
keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta
hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undangundang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi :
PERTAHANAN NEGARA
Pasal 30
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pembelaan negara.
(2) Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan Undangundang.
BAB XIII
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
* Pasal 31
* (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
* (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
* (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
* (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
* (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :
PENDIDIKAN
Pasal 31
(1) Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undangundang.
* Pasal 32
* (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya.
* (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya
nasional.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :
Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
* BAB XIV
* PEREKONOMIAN NASIONAL DAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :
BAB XIV
KESEJAHTERAAN SOSIAL
* (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
* (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002.
* Pasal 34
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.
* BAB XV
* BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA,
SERTA LAGU KEBANGSAAN
Perubahan II 18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi :
BENDERA DAN BAHASA
Pasal 35
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.
Pasal 36
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
* Pasal 36A
Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 36B
Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
* Pasal 36C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan diatur dalam undang-undang.
* Perubahan II 18 Agustus 2000.
BAB XVI
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR
* Pasal 37
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurangkurangnya
1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis
dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta
alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan
persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari
seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :
(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3
dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus
hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari
pada jumlah anggota yang hadir.
ATURAN PERALIHAN
* Pasal I
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
* Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini.
* Pasal III
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan
sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :
Pasal I
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan
menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada pemerintah
Indonesia.
Pasal II
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini.
Pasal III
Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pasal IV
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut
Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh
Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
ATURAN TAMBAHAN
* Pasal I
Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap
materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.
* Pasal II
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia ke-6 (lanjutan) tanggal 10 Agustus 2002 Sidang Tahunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :
(1) Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya,
Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
(2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat
dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang
Dasar.

Selasa, 15 Desember 2009

uu no 24 tahun 2003 (MK)

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24 TAHUN 2003

TENTANG

MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang:

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;

b. bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu membentuk Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi;

mengingat:

1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.



BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:

a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. pembubaran partai politik;

d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau

e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB II

KEDUDUKAN DAN SUSUNAN

Bagian Pertama

Kedudukan

Pasal 2

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 3

Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.

Bagian Kedua

Susunan

Pasal 4



(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.

(3) Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.

(4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.

(5) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 5

Hakim konstitusi adalah pejabat negara.

Pasal 6

(1) Kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua, Wakil Ketua, dan anggota hakim konstitusi berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan bagi pejabat negara.

(2) Hakim konstitusi hanya dapat dikenakan tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis Presiden, kecuali dalam hal:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau

b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

Bagian Ketiga

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Pasal 7

Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan.

Pasal 8

Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.

Pasal 9

Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB III

KEKUASAAN MAHKAMAH KONSTITUSI


Bagian Pertama

Wewenang

Pasal 10

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik; dan

d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.

b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.

c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 11

Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.

Bagian Kedua

Tanggung Jawab dan Akuntabilitas

Pasal 12

Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih.

Pasal 13

(1) Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka mengenai:


a. permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;

b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 14

Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi.

BAB IV

PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM KONSTITUSI

Bagian Pertama

Pengangkatan

Pasal 15

Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;

b. adil; dan

c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.

Pasal 16

(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus memenuhi syarat:

a. warga negara Indonesia;

b. berpendidikan sarjana hukum;

c. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan;

d. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

e. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan

f. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.

(2) Calon hakim konstitusi yang bersangkutan wajib membuat surat pernyataan tentang kesediaannya untuk menjadi hakim konstitusi.

Pasal 17

Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi:

a. pejabat negara lainnya;

b. anggota partai politik;

c. pengusaha;

d. advokat; atau

e. pegawai negeri.

Pasal 18



(1) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(2) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden.

Pasal 19

Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.

Pasal 20

(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).

(2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.

Pasal 21

(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:

Sumpah hakim konstitusi:

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”

Janji hakim konstitusi:

“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”

(2) Pengucapan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan Presiden.

(3) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut:

Sumpah Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan

seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”

Janji Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:

“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya


dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”

Bagian Kedua

Masa Jabatan

Pasal 22

Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Bagian Ketiga

Pemberhentian

Pasal 23

(1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi;

c. telah berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun;

d. telah berakhir masa jabatannya; atau

e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

(2) Hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabila:

a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

b. melakukan perbuatan tercela;

c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;

d. melanggar sumpah atau janji jabatan;

e. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

f. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau

g. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.

(3) Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.

(5) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 24



(1) Hakim konstitusi sebelum diberhentikan dengan tidak hormat, diberhentikan sementara dari jabatannya dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi, kecuali alasan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a.

(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

(3) Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir tanpa dilanjutkan dengan pemberhentian, yang bersangkutan direhabilitasi dengan Keputusan Presiden.

(4) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dikeluarkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.

(5) Sejak dimintakan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi yang bersangkutan dilarang menangani perkara.

Pasal 25

(1) Apabila terhadap seorang hakim konstitusi ada perintah penahanan, hakim konstitusi yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya.

(2) Hakim konstitusi diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana meskipun tidak ditahan.

(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

(4) Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir dan belum ada putusan pengadilan, terhadap yang bersangkutan diberhentikan sebagai hakim konstitusi.

(5) Apabila di kemudian hari putusan pengadilan menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah, yang bersangkutan direhabilitasi.

Pasal 26

(1) Dalam hal terjadi kekosongan hakim konstitusi karena berhenti atau diberhentikan, lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) mengajukan pengganti kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak terjadi kekosongan.

(2) Keputusan Presiden tentang pengangkatan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 ( tujuh) hari kerja sejak pengajuan diterima Presiden.

Pasal 27

Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.

BAB V

HUKUM ACARA



Bagian Pertama

Umum

Pasal 28

(1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.

(2) Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.

(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah Konstitusi.

(4) Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.

(5) Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(6) Tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Bagian Kedua

Pengajuan Permohonan

Pasal 29

(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap.

Pasal 30

Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai:

a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. pembubaran partai politik;

d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau

e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 31



(1) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:

a. nama dan alamat pemohon;

b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan

c. hal-hal yang diminta untuk diputus.

(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut.

Bagian Ketiga

Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang

Pasal 32

(1) Terhadap setiap permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan.

(2) Permohonan yang belum memenuhi kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31 ayat (1) huruf a dan ayat (2), wajib dilengkapi oleh pemohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.

(3) Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 33

Buku Registrasi Perkara Konstitusi memuat antara lain catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara.

Pasal 34

(1) Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama, setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja.

(2) Penetapan hari sidang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan kepada masyarakat.

(3) Pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menempelkan salinan pemberitahuan tersebut di papan pengumuman Mahkamah Konstitusi yang khusus digunakan untuk itu.

Pasal 35

(1) Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.

(2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali.

Bagian Keempat

Alat Bukti

Pasal 36

(1) Alat bukti ialah:

a. surat atau tulisan;

b. keterangan saksi;

c. keterangan ahli;

d. keterangan para pihak;

e. petunjuk; dan

f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum.

(3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.

(4) Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 37

Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.

Pasal 38

(1) Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi.

(2) Surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.

(3) Para pihak yang merupakan lembaga negara dapat diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun sudah dipanggil secara patut menurut hukum, Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi tersebut secara paksa.

Bagian Kelima

Pemeriksaan Pendahuluan

Pasal 39

(1) Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.

(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari.

Bagian Keenam

Pemeriksaan Persidangan

Pasal 40

(1) Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim.


(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib persidangan.

(3) Ketentuan mengenai tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Mahkamah Konstitusi.

(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi.

Pasal 41

(1) Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti yang diajukan.

(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.

(3) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima.

Pasal 42

Saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk memberikan keterangan.

Pasal 43

Dalam pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu.

Pasal 44

(1) Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh selain kuasanya di dalam persidangan, pemohon dan/atau termohon harus membuat surat keterangan yang khusus untuk itu.

(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjukkan dan diserahkan kepada hakim konstitusi di dalam persidangan.

Bagian Ketujuh

Putusan

Pasal 45

(1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.

(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.

(3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

(4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.

(5) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan.


(6) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.

(7) Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.

(8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.

(9) Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada para pihak.

(10) Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan.

Pasal 46

Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan panitera.

Pasal 47

Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

Pasal 48

(1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:

a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. identitas pihak;

c. ringkasan permohonan;

d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;

e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

f. amar putusan; dan

g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.

Pasal 49

Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Bagian Kedelapan

Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

Pasal 50

Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pasal 51

(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau

b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 52

Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui, dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 53

Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian undang-undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 54

Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.

Pasal 55

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 56

(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.



(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

(5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 57

(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Pasal 58

Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 59

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.

Pasal 60

Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

Bagian Kesembilan

Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan oleh

Undang-Undang Dasar

Pasal 61

(1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang



mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.

(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon.

Pasal 62

Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 63

Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 64

(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.

(4) Dalam hal permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 65

Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi.

Pasal 66

(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan, termohon wajib melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diterima.

(2) Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan kewenangan termohon batal demi hukum.

Pasal 67

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Presiden.


Bagian Kesepuluh

Pembubaran Partai Politik

Pasal 68

(1) Pemohon adalah Pemerintah.

(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 69

Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada partai politik yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 70

(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

(3) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 71

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 72

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran partai politik disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.

Pasal 73

(1) Pelaksanaan putusan pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dilakukan dengan membatalkan pendaftaran pada Pemerintah.

(2) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh Pemerintah dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.

Bagian Kesebelas

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Pasal 74

(1) Pemohon adalah:

a. perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;



b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan

c. partai politik peserta pemilihan umum.

(2) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:

a. terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;

b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;

c. perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.

(3) Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.

Pasal 75

Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:

a. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan

b. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.

Pasal 76

Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Komisi Pemilihan Umum dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 77

(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.

(4) Dalam hal permohonan tidak beralasan amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 78

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu:



a. paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden;

b. paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal pemilihan umum anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 79

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan hasil pemilihan umum disampaikan kepada Presiden.

Bagian Kedua belas

Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

Pasal 80

(1) Pemohon adalah DPR.

(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya mengenai dugaan:

a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau

b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan mengenai pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, risalah dan/atau berita acara rapat DPR, disertai bukti mengenai dugaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 81

Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 82

Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi, proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.

Pasal 83

(1) Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

(2) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan


terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan membenarkan pendapat DPR.

(3) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

Pasal 84

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.

Pasal 85

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 86

Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini.

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 87

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, seluruh permohonan dan/atau gugatan yang diterima Mahkamah Agung dan belum diputus berdasarkan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak Mahkamah Konstitusi dibentuk.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 88

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan Di Jakarta

Pada Tanggal 13 Agustus 2003

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan Di Jakarta

Pada Tanggal 13 Agustus 2003

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 98