UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2002
TENTANG
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya
masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi
kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang
dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam sistem ketatanegaraan yang
menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia sudah tidak memadai dan perlu diganti untuk disesuaikan dengan
pertumbuhan dan perkembangan hukum serta ketatanegaraan Republik Indonesia;
e. sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d, perlu dibentuk Undang-Undang
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang
Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran
Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3890);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum
Kepolisian.
4. Peraturan Kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin
keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat
sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam
rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan,
ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung
kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam
menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan
bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
6. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
7. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan
negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.
8. Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
9. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
10. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
11. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai
wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
12. Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat
kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang
diatur dalam undang-undang.
13. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
14. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kapolri
adalah pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab
penyelenggaraan fungsi kepolisian.
Pasal 2
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 3
(1) Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dibantu oleh :
a. kepolisian khusus;
b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau
c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
(2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c,
melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Pasal 4
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan
tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia.
Pasal 5
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan
satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB II
SUSUNAN DAN KEDUDUKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Pasal 6
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan peran dan fungsi
kepolisian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 5 meliputi seluruh wilayah
negara Republik Indonesia.
(2) Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah negara Republik
Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai daerah hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
Susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia disesuaikan
dengan kepentingan pelaksanaan tugas dan wewenangnya yang diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 8
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam
pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 9
(1) Kapolri menetapkan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis
kepolisian.
(2) Kapolri memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawab atas :
a. penyelenggaraan kegiatan operasional kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 10
(1) Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan
wewenang kepolisian secara hierarki.
(2) Ketentuan mengenai tanggung jawab secara hierarki sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Pasal 11
(1) Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(2) Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan
Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.
(3) Persetujuan atau penolakan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan dalam jangka waktu paling
lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban dalam waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), calon yang diajukan oleh Presiden dianggap
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(5) Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan
mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(6) Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
(7) Tata cara pengusulan atas pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (6) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
(8) Ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan selain yang
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Pasal 12
(1) Jabatan penyidik dan penyidik pembantu adalah jabatan fungsional yang pejabatnya
diangkat dengan Keputusan Kapolri.
(2) Jabatan fungsional lainnya di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia
ditentukan dengan Keputusan Kapolri.
BAB III
TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 13
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertugas :
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan
masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian
khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium
forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan
dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh
instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam
lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan
14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam
rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan
lainnya berwenang :
a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya;
b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan
senjata tajam;
f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di
bidang jasa pengamanan;
g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan
petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional;
i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada
di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan
14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang
di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk
mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil
serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan
kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut
:
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia.
Pasal 17
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya di
seluruh wilayah negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yang
bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan
dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 19
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma
agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.
BAB IV
ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Pasal 20
(1) Pegawai Negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri atas :
a. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
b. Pegawai Negeri Sipil.
(2) Terhadap Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Pasal 21
(1) Untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia seorang
calon harus memenuhi syarat sekurang-kurangnya sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berpendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;
e. berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. tidak pernah dipidana karena melakukan suatu kejahatan;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
i. lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan anggota kepolisian.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Pasal 22
(1) Sebelum diangkat sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, seorang
calon anggota yang telah lulus pendidikan pembentukan wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengambilan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Pasal 23
Lafal sumpah atau janji sebagaimana diatur dalam Pasal 22 adalah sebagai berikut :
"Demi Allah, saya bersumpah/berjanji :
bahwa saya, untuk diangkat menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Tri Brata, Catur Prasatya, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia serta Pemerintah yang sah;
bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan kedinasan di Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipercayakan
kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan
martabat anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta akan senantiasa
mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara daripada kepentingan saya
sendiri, seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut
perintah harus saya rahasiakan;
bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak akan menerima pemberian
berupa hadiah dan/atau janji-janji baik langsung maupun tidak langsung yang ada
kaitannya dengan pekerjaan saya".
Pasal 24
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalani dinas keanggotaan dengan
ikatan dinas.
(2) Ketentuan mengenai ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 25
(1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberi pangkat yang
mencerminkan peran, fungsi dan kemampuan, serta sebagai keabsahan wewenang
dan tanggung jawab dalam penugasannya.
(2) Ketentuan mengenai susunan, sebutan, dan keselarasan pangkat-pangkat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Pasal 26
(1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memperoleh gaji dan hak-hak
lainnya yang adil dan layak.
(2) Ketentuan mengenai gaji dan hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
(1) Untuk membina persatuan dan kesatuan serta meningkatkan semangat kerja dan
moril, diadakan peraturan disiplin anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai peraturan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan
tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
(2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan
dipilih.
(3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar
kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Pasal 29
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan
umum.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 30
(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat diberhentikan dengan hormat
atau tidak dengan hormat.
(2) Usia pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 58 (lima
puluh delapan) tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat
dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan 60 (enam
puluh) tahun.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PEMBINAAN PROFESI
Pasal 31
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi.
Pasal 32
(1) Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan
serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan
penugasan secara berjenjang dan berlanjut.
(2) Pembinaan kemampuan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Kapolri.
Pasal 33
Guna menunjang pembinaan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan
pengkajian, penelitian, serta pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian.
Pasal 34
(1) Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman
bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur
dengan Keputusan Kapolri.
Pasal 35
(1) Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia diatur dengan Keputusan Kapolri.
Pasal 36
(1) Setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pengemban fungsi
kepolisian lainnya wajib menunjukkan tanda pengenal sebagai keabsahan wewenang
dan tanggung jawab dalam mengemban fungsinya.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, ukuran, pengeluaran, pemakaian, dan penggunaan tanda
pengenal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Kapolri.
BAB VI
LEMBAGA KEPOLISIAN NASIONAL
Pasal 37
(1) Lembaga kepolisian nasional yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(2) Komisi Kepolisian Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 38
(1) Komisi Kepolisian Nasional bertugas :
a. membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara
Republik Indonesia; dan
b. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi
Kepolisian Nasional berwenang untuk :
a. mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada
Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya
mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan
mandiri; dan
c. menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan
menyampaikannya kepada Presiden.
Pasal 39
(1) Keanggotaan Komisi Kepolisian Nasional terdiri atas seorang Ketua merangkap
anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, seorang Sekretaris merangkap
anggota dan 6 (enam) orang anggota.
(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari unsur-unsur
pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tata kerja, pengangkatan dan pemberhentian
anggota Komisi Kepolisian Nasional diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 40
Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Komisi
Kepolisian Nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB VII
BANTUAN, HUBUNGAN, DAN KERJA SAMA
Pasal 41
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia
dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
(2) Dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara Republik
Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan.
(3) Kepolisian Negara Republik Indonesia membantu secara aktif tugas pemeliharaan
perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 42
(1) Hubungan dan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan,
lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi
hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan
kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki.
(2) Hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur
pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat
dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas.
(3) Hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan terutama dengan badan-badan
kepolisian dan penegak hukum lain melalui kerja sama bilateral atau multilateral dan
badan pencegahan kejahatan baik dalam rangka tugas operasional maupun kerja sama
teknik dan pendidikan serta pelatihan.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku :
a. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan mengenai
Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
b. tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang sedang diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan
militer dan belum mendapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan peradilan militer.
c. tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang belum diperiksa baik di tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan
militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan
umum.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3710)
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 2
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2002
TENTANG
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
I. UMUM
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun
1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3710) sebagai penyempurnaan dari
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian
Negara (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2289).
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
telah memuat pokok-pokok mengenai tujuan, kedudukan, peranan dan tugas serta
pembinaan profesionalisme kepolisian, tetapi rumusan ketentuan yang tercantum di
dalamnya masih mengacu kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran
Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368), dan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3369)
sehingga watak militernya masih terasa sangat dominan yang pada gilirannya
berpengaruh pula kepada sikap perilaku pejabat kepolisian dalam pelaksanaan tugasnya
di lapangan.
Oleh karena itu, Undang-Undang ini diharapkan dapat memberikan penegasan watak
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Tri Brata dan
Catur Prasatya sebagai sumber nilai Kode Etik Kepolisian yang mengalir dari falsafah
Pancasila.
Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya
fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi,
transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat
tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan
masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.
Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan
MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara
konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran
Kepolisian Negara Republik Indonesia serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peran dan fungsi
masing-masing.
Undang-Undang ini telah didasarkan kepada paradigma baru sehingga diharapkan dapat
lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan
kehidupan bangsa dan negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur,
dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan
Kedua, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.
VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok
yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun, dalam penyelenggaraan
fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa melalui pengembangan asas subsidiaritas dan asas partisipasi.
Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, dalam Undang-Undang
ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan
asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki
kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum
berdasarkan penilaian sendiri.
Oleh karena itu, Undang-Undang ini mengatur pula pembinaan profesi dan kode etik
profesi agar tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi dan
terutama hak asasi manusia.
Begitu pentingnya perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia karena menyangkut
harkat dan martabat manusia, Negara Republik Indonesia telah membentuk Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi menentang penyiksaan dan
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib mempedomani dan menaati
ketentuan Undang-Undang di atas.
Di samping memperhatikan hak asasi manusia dalam setiap melaksanakan tugas dan
wewenangnya, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib pula
memperhatikan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya,
antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
ketentuan perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus, seperti Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua serta peraturan perundang-undangan
lainnya yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang ini menampung pula pengaturan tentang keanggotaan Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3890) yang meliputi pengaturan tertentu mengenai hak anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia baik hak kepegawaian, maupun hak politik, dan
kewajibannya tunduk pada kekuasaan peradilan umum.
Substansi lain yang baru dalam Undang-Undang ini adalah diaturnya lembaga kepolisian
nasional yang tugasnya memberikan saran kepada Presiden tentang arah kebijakan
kepolisian dan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sesuai
amanat Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, selain terkandung pula fungsi
pengawasan fungsional terhadap kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga
kemandirian dan profesionalisme Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat terjamin.
Dengan landasan dan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam
kebulatannya yang utuh serta menyeluruh, diadakan penggantian atas Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tidak hanya
memuat susunan dan kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang serta peranan kepolisian,
tetapi juga mengatur tentang keanggotaan, pembinaan profesi, lembaga kepolisian
nasional, bantuan dan hubungan serta kerja sama dengan berbagai pihak, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri.
Meskipun demikian, penerapan Undang-Undang ini akan ditentukan oleh komitmen para
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelaksanaan tugasnya dan juga
komitmen masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam mewujudkan Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang mandiri, profesional, dan memenuhi harapan
masyarakat.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Fungsi kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan keadilan.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dibantu" ialah dalam lingkup fungsi kepolisian, bersifat bantuan
fungsional dan tidak bersifat struktural hierarkis.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "kepolisian khusus" ialah instansi dan/atau badan Pemerintah
yang oleh atau atas kuasa undang-undang (peraturan perundang-undangan) diberi
wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian dibidang teknisnya masing-masing.
Wewenang bersifat khusus dan terbatas dalam "lingkungan kuasa soal-soal" (zaken
gebied) yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukumnya.
Contoh "kepolisian khusus" yaitu Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM
Depkes), Polsus Kehutanan, Polsus di lingkungan Imigrasi dan lain-lain.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk pengamanan swakarsa" adalah suatu bentuk
pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat
sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia, seperti satuan pengamanan lingkungan dan badan usaha di bidang jasa
pengamanan.
Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam
"lingkungan kuasa tempat" (teritoir gebied/ruimte gebied) meliputi lingkungan
pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan.
Contohnya adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan
pada kawasan perkantoran atau satuan pengamanan pada pertokoan.
Pengaturan mengenai pengamanan swakarsa merupakan kewenangan Kapolri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara alamiah melekat pada setiap manusia
dalam kehidupan masyarakat, meliputi bukan saja hak perseorangan melainkan juga hak
masyarakat, bangsa dan negara yang secara utuh terdapat dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta sesuai pula dengan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Declaration of Human Rights, 1948 dan konvensi internasional
lainnya.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Wilayah Negara Republik Indonesia adalah wilayah hukum berlakunya kedaulatan
Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia meliputi seluruh wilayah
Negara Republik Indonesia, sehingga setiap pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dapat melaksanakan kewenangannya di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia, terutama di wilayah dia ditugaskan.
Ayat (2)
Untuk melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif dan efisien, wilayah Negara
Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas
dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan luas
wilayah, keadaan penduduk, dan kemampuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pembagian daerah hukum tersebut diusahakan serasi dengan pembagian wilayah
administratif pemerintahan di daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab
kepada Presiden baik dibidang fungsi kepolisian preventif maupun represif yustisial.
Namun demikian pertanggungjawaban tersebut harus senantiasa berdasar kepada
ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga tidak terjadi intervensi yang dapat
berdampak negatif terhadap pemuliaan profesi kepolisian.
Pasal 9
Ayat (1)
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai pimpinan teknis kepolisian menetapkan
kebijakan teknis kepolisian bagi seluruh pengemban fungsi dan mengawasi serta
mengendalikan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud "dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat" adalah setelah
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ayat (2)
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian
dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh
Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang
bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun,
berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila
Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik
kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan
pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "dua puluh hari kerja DPR-RI" ialah hari kerja di DPR-RI tidak
termasuk hari libur dan masa reses.
Sedangkan yang dimaksud dengan "sejak kapan surat Presiden tersebut berlaku" ialah
sejak surat Presiden diterima oleh Sekjen DPR-RI dan diterima secara administratif.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan mendesak" ialah suatu keadaan yang secara
yuridis mengharuskan Presiden menghentikan sementara Kapolri karena melanggar
sumpah jabatan dan membahayakan keselamatan negara.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "jenjang kepangkatan" ialah prinsip senioritas dalam arti
penyandang pangkat tertinggi dibawah Kapolri yang dapat dicalonkan sebagai Kapolri.
Sedangkan yang dimaksud dengan "jenjang karier" ialah pengalaman penugasan dari Pati
calon Kapolri pada berbagai bidang profesi kepolisian atau berbagai macam jabatan di
kepolisian.
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Jabatan penyidik dan penyidik pembantu sebagai jabatan fungsional terkait dengan sifat
keahlian teknis yang memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas pokok Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "ditentukan" adalah suatu proses intern Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk menentukan jabatan fungsional lainnya yang diperlukan di
lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 13
Rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas, ketiga-tiganya sama
penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok mana yang akan dikedepankan
sangat tergantung pada situasi masyarakat dan lingkungan yang dihadapi karena pada
dasarnya ketiga tugas pokok tersebut dilaksanakan secara simultan dan dapat
dikombinasikan. Di samping itu, dalam pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma
hukum, mengindahkan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menjunjung tinggi
hak asasi manusia.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga
secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak
mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Huruf h
Penyelenggaraan identifikasi kepolisian dimaksudkan untuk kepentingan penyidikan
tindak pidana dan pelayanan identifikasi non tindak pidana bagi masyarakat dan instansi
lain dalam rangka pelaksanaan fungsi kepolisian.
Adapun kedokteran kepolisian adalah meliputi antara lain kedokteran forensik,
odontologi forensik, dan pskiatri forensik yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan
tugas kepolisian.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Hal ini dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebatas
pengetahuan dan kemampuannya untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan,
dan pelayanan masyarakat.
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan
pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan,
perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.
Wewenang yang dimaksud dalam ayat (1) ini dilaksanakan secara terakomodasi dengan
instansi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "aliran" adalah semua aliran atau paham yang dapat
menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain
aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Tindakan kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya
ketenteraman masyarakat.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Keterangan dan barang bukti dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses pidana
maupun dalam rangka tugas kepolisian pada umumnya.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "Pusat Informasi Kriminal Nasional" adalah sistem jaringan dari
dokumentasi kriminal yang memuat baik data kejahatan dan pelanggaran maupun
kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas serta regristrasi dan identifikasi lalu lintas.
Huruf k
Surat Izin dan/atau surat keterangan yang dimaksud dikeluarkan atas dasar permintaan
yang berkepentingan.
Huruf l
Wewenang tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan instansi yang berkepentingan
atau permintaan masyarakat.
Huruf m
Yang dimaksud dengan "barang temuan" adalah barang yang tidak diketahui pemiliknya
yang ditemukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau masyarakat
yang diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Barang temuan itu harus dilindungi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
ketentuan apabila dalam jangka waktu tertentu tidak diambil oleh yang berhak akan
diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah menerima barang temuan wajib segera
mengumumkan melalui media cetak, media elektronik dan/atau media pengumuman
lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Keramaian umum yang dimaksud dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 510 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
yaitu keramaian atau tontonan untuk umum dan mengadakan arak-arakan di jalan umum.
Kegiatan masyarakat lainnya adalah kegiatan yang dapat membahayakan keamanan
umum seperti diatur dalam Pasal 495 ayat (1), 496, 500, 501 ayat (2), dan 502 ayat (1)
KUHP.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Kegiatan politik yang memerlukan pemberitahuan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah kegiatan politik sebagaimana diatur dalam perundang-undangan di
bidang politik, antara lain kegiatan kampanye pemilihan umum (pemilu), pawai politik,
penyebaran pamflet, dan penampilan gambar/lukisan bermuatan politik yang disebarkan
kepada umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "senjata tajam" dalam Undang-Undang ini adalah senjata
penikam, senjata penusuk, dan senjata pemukul, tidak termasuk barang-barang yang
nyata-nyata dipergunakan untuk pertanian, atau untuk pekerjaan rumah tangga, atau
untuk kepentingan melakukan pekerjaan yang sah, atau nyata untuk tujuan barang
pusaka, atau barang kuno, atau barang ajaib sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12/Drt/1951.
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan "kejahatan internasional" adalah kejahatan tertentu yang
disepakati untuk ditanggulangi antar negara, antara lain kejahatan narkotika, uang palsu,
terorisme, dan perdagangan manusia.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Dalam pelaksanaan tugas ini Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat oleh
ketentuan hukum internasional, baik perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral.
Dalam hubungan tersebut Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan
bantuan untuk melakukan tindakan kepolisian atas permintaan dari negara lain,
sebaliknya Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan untuk
melakukan tindakan kepolisian dari negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum dari kedua negara.
Organisasi kepolisian internasional yang dimaksud, antara lain, International Criminal
Police Organization (ICPO-Interpol).
Fungsi National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia dilaksanakan oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Larangan kepada setiap orang untuk meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara maksudnya untuk pengamanan tempat kejadian perkara serta barang bukti.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Kewenangan ini merupakan kewenangan umum dan kewenangan dalam proses pidana,
dalam pelaksanaannya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib
menunjukkan identitasnya.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Yang dimaksud dengan "menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum", termasuk
tersangka dan barang buktinya.
Huruf j
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dapat mengajukan permintaan cegah
tangkal dalam keadaan mendesak atau mendadak paling rendah setingkat Kepala
Kepolisian Resort, selanjutnya paling lambat dua puluh hari harus dikukuhkan oleh
Keputusan Kapolri.
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bertindak menurut penilaiannya sendiri" adalah suatu tindakan
yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam
bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul
untuk kepentingan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Kata "sekurang-kurangnya" dimaksudkan untuk menjelaskan sebagian persyaratan yang
bersifat mutlak, karena selain yang tercantum dalam Undang-Undang ini masih ada
persyaratan lain yang harus dipenuhi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pembinaan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia"
meliputi penyediaan, pendidikan, penggunaan, perawatan dan pengakhiran dinas.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Kalimat pengantar dan penutup sumpah/janji bagi calon anggota yang akan
disumpah/janji disesuaikan dengan agama dan kepercayaannya.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "menjalani ikatan dinas" adalah suatu kewajiban bagi anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk bekerja di lingkungan Kepolisian Negara
Republik Indonesia selama kurun waktu tertentu mengaplikasikan Ilmu Pengetahuan
Kepolisian yang diperoleh dari Lembaga Pendidikan Pembentukan anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia melalui pengabdiannya kepada bangsa dan negara Republik
Indonesia dengan patuh serta taat menjalankan pekerjaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bersikap netral" adalah bahwa anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan dan dilarang
menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Ayat (2)
Meskipun anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak
memilih dan dipilih, namun keikutsertaan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "jabatan di luar kepolisian" adalah jabatan yang tidak mempunyai
sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah adalah menyangkut pelaksanaan teknis
institusional.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Secara umum usia pensiun maksimum anggota Polri 58 tahun, bagi yang mempunyai
keahlian khusus dapat diperpanjang sampai dengan usia 60 tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Pembinaan kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dilaksanakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta
pengalaman penugasan secara berjenjang, berlanjut, dan terpadu.
Peningkatan dan pengembangan pengetahuan dapat dilaksanakan melalui pendidikan dan
pelatihan, baik di dalam maupun di luar lingkungan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, di lembaga pendidikan di dalam atau di luar negeri, serta berbagai bentuk
pelatihan lainnya sepanjang untuk meningkatkan profesionalisme. Sedangkan
pengalaman maksudnya adalah meliputi jenjang penugasan yang diarahkan untuk
memantapkan kemampuan dan prestasi.
Tuntutan pelaksanaan tugas serta pembinaan kemampuan profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia mengharuskan adanya lembaga pendidikan tinggi kepolisian yang
menyelenggarakan pendidikan ilmu kepolisian yang bersifat akademik maupun profesi
dan pengkajian teknologi kepolisian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Ayat ini mengamanatkan agar setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus dapat mencerminkan kepribadian
Bhayangkara Negara seutuhnya, yaitu pejuang pengawal dan pengaman Negara Republik
Indonesia. Selain itu, untuk mengabdikan diri sebagai alat negara penegak hukum, yang
tugas dan wewenangnya bersangkut paut dengan hak dan kewajiban warga negara secara
langsung, diperlukan kesadaran dan kecakapan teknis yang tinggi, oleh karena itu setiap
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia harus menghayati dan menjiwai etika
profesi kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya. Etika profesi kepolisian
tersebut dirumuskan dalam kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasatya
yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Mengingat dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berkaitan
erat dengan hak serta kewajiban warga negara dan masyarakat secara langsung serta
diikat oleh kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka dalam hal
seorang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melaksanakan tugas dan
wewenangnya dianggap melanggar etika profesi, maka anggota tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Komisi Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Ayat ini dimaksudkan untuk pemuliaan profesi kepolisian, sedangkan terhadap
pelanggaran hukum disiplin dan hukum pidana diselesaikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (2)
Anggota Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia sepenuhnya anggota
Polri yang masih aktif dan mengenai susunannya disesuaikan dengan fungsi dan
kepangkatan anggota yang melanggar kode etik.
Pasal 36
Ayat (1)
Tanda pengenal dimaksud guna memberikan jaminan kepastian bagi masyarakat bahwa
dirinya berhadapan dengan petugas resmi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Huruf a
Arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditetapkan Presiden
merupakan pedoman penyusunan kebijakan teknis Kepolisian yang menjadi lingkup
kewenangan Kapolri.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "keluhan" dalam ayat ini menyangkut penyalahgunaan
wewenang, dugaan korupsi, pelayanan yang buruk, perlakuan diskriminatif, dan
penggunaan diskresi yang keliru, dan masyarakat berhak memperoleh informasi
mengenai penanganan keluhannya.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "unsur-unsur Pemerintah" ialah pejabat Pemerintah setingkat
Menteri eks officio.
Yang dimaksud dengan "pakar kepolisian" ialah seseorang yang ahli di bidang ilmu
kepolisian.
Yang dimaksud dengan "tokoh masyarakat" ialah pimpinan informal masyarakat yang
telah terbukti menaruh perhatian terhadap kepolisian.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "tugas pemeliharaan perdamaian dunia" (Peace Keeping
Operation) adalah tugas-tugas yang diminta oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada suatu negara tertentu dengan biaya operasional, pertanggungjawaban dan
penggunaan atribut serta bendera PBB.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hubungan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan pihak lain
dimaksudkan untuk kelancaran tugas kepolisian secara fungsional dengan tidak
mencampuri urusan instansi masing-masing.
Khusus hubungan kerja sama dengan Pemerintah Daerah adalah memberikan
pertimbangan aspek keamanan umum kepada Pemerintah Daerah dan instansi terkait
serta kegiatan masyarakat, dalam rangka menegakkan kewibawaan penyelenggaraan
pemerintahan di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kerja sama multilateral", antara lain kerja sama dengan
International Criminal Police Organization-Interpol dan Aseanapol.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4168
ilmu ibarat lautan. Dan ekspresi pemahaman adalah ikannya. Laut tanpa ikan, tak mungkin berguna. sedangkan ikan tanpa lautan akan sia-sia.
ads
negri Ads
Senin, 05 Juli 2010
undang-undang tentang kejaksaan RI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2004
TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka pengakuan hukum dan keadilan
merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional;
b. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak
sesuai lagi degan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
Mengingat:
1. Pasal 20, pasal 21, dan pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 3209;
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 4358 );
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
4. Jabatan Fungsionla jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan yang
karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas Kejaksaan.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
(1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang.
(2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
(3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
Pasal 3
Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan
Agung, Kejaksaan tinggi, dan Kejaksaan negeri.
Pasal 4
(1) Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
(2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
(3) Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah
kabupaten/kota.
BAB II
SUSUNAN KEJAKSAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Sunanan Kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.
Pasal 6
(1) Susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2) Kejaksaan tinggi dan Kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa Agung.
Pasal 7
(1) Dalam hal tertentu di daerah hukum Kejaksaan negeri dapat dibentuk cabang Kejaksaan negeri.
(2) Cabang Kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Jaksa Agung.
Bagian Kedua
J a k s a
Pasal 8
(1) Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta
bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
(3) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan
dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah.
(4) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya , jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan
mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan
martabat profesinya.
(5) Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jaksa diduga melakukan tindak
pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa
yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Pasal 9
(1) Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah :
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah paling rendah sarjana hukum;
e. berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
h. pegawai negeri sipil.
(2) Selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat diangkat menjadi jaksa, harus lulus
pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, syarat, atau petunjuk pelaksanaan untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh
Jaksa Agung.
Pasal 10
(1) Sebelum memangku jabatannya, jaksa wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di
hadapan Jaksa Agung.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan setia kepada dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia, serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia.
bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan,
serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh-sungguh,
seksama, obyektif, jujur, berani, professional, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras,
jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta
bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara.
bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur
tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang
diamanatkan undang-undang kepada saya.
bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu
apapun kepada siapapun juga.
bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian”.
Pasal 11
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, jaksa dilarang merangkap menjadi.
a. pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta.
b. advokad
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan atau pekerjaan yang dilarang dirangkap selain jabatan atau
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 12
Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun;
d. meninggal dunia;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas.
Pasal 13
(1) Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaanya;
c. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
e. melakukan perbuatan tercela.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah jaksa yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Jaksa,
serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Pasal 14
(1) Jaksa yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan sendirinya diberhentikan
sebagai pegawai negeri sipil.
(2) Sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jaksa yang
bersangkutan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
(3) Setelah seorang jaksa diberhentikan sementara dari jabatan fungsionalnya berlaku pula ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) tentang kesempatan untuk membela diri.
Pasal 15
(1) Apabila terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan terhadap seorang jaksa, dengan
sendirinya jaksa yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimkasud dalam
Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan,
jaksa dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan
hormat, dan pemberhentian sementara, serta hak-hak fungsional jaksa yang terkena pemberhentian diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Ketentuan mengenai tunjangan jabatan fungsional jaksa diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Muda
Pasal 18
(1) Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.
(2) Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda.
(3) Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan.
(4) Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan.
Pasal 19
(1) Jaksa Agung adalah pejabat negara.
(2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pasal 20
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf a, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g.
Pasal 21
Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi:
a. Pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturann perundang-undangan;
b. Advokat;
c. Wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terakait dalam perkara yang sedang diperiksa olehnya;
d. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta;
e. Notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah;
f. Arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan perturan perundangundangan;
g. Pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau
h. Pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang.
Pasal 22
(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. berakhir masa jabatannya;
e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 23
(1) Wakil Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2) Wakil Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung
(3) Yang dapat diangkat menjadi Wakil Jaksa Agung adalah Jaksa Agung Muda, atau yang dipersamakan
dengan memperhatikan jenjang dan jabatan karier.
Pasal 24
(1) Jaksa Agung Muda dingkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2) Yang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung Muda adalah jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
yang berpengalaman sebagai kepala kejaksaan tinggi atau jabatan yang dipersamakan dengan jabatan
kepala kejaksaan tinggi.
(3) Jaksa Agung Muda dapat diangkat dari luar lingkungan kejaksaan dengan syarat mempunyai keahlian
tertentu.
(4) Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. berakhir masa jabatannya;
e. Tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pasal 25
(1) Dalam hal Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda dinilai melakukan perbuatan yang dapat
menyebabkan pemberhentian tidak dengan hormat seabagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1),
Presiden atas usul Jaksa Agung dapat memberhentikan untuk sementara dari jabatnnya sebelum
diambil tindakan pemberhentian tersebut.
(2) Ketentuan tentang pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), berlaku pula
terhadap Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda.
Bagian Keempat
Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi,
Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.
Pasal 26
(1) Kepala kejaksaan tinggi pimpinan kejaksaan tinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan
wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
(2) Kepala kejaksaan tinggi dibantu oleh seorang wakil kepala kejaksaan tinggi sebagai kesatuan unsur
pimpinan, beberapa orang unsur pembantu pimpinan, dan unsur pelaksana.
Pasal 27
(1) Kepala kejaksaan negeri adalah pimpinan kejaksaan negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan
wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
(2) Kepala kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
(3) Kepala cabang kejaksaan negeri adalah pimpinan cabang kejaksaan negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di sebagian daerah
hukum kejaksaan negeri yang membawahkannya.
(4) Kepala cabang kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pelaksana.
Pasal 28
Yang dapat diangkat menjadi kepala kejaksaan tinggi, wakil kepala kejaksaan tinggi, kepala kejaksaan
negeri, dan kepala cabang kejaksaan negeri adalah jaksa yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
lebih lanjut oleh Jaksa Agung.
Bagian Kelima
Jabatan Fungsional dan Tenaga Ahli
Pasal 29
(1) Pada kejaksaan dapat ditugaskan pegawai negeri yang tidak menduduki jabatan fungsional jaksa, yang
diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung menurut perundang-undangan.
(2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diangkat sebagai tenaga ahli atau tenaga
tata usaha untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan.
(3) Selain tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada kejaksaan dapat diangkat tenaga ahli
bukan dari pegawai negeri.
BAB III
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 30
(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam
maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
Pasal 31
Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat
perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau
disebabkab oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri
Pasal 32
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenag lain berdasarkan undang-undang.
Pasal 33
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak
hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya
Pasal 34
Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Bagian Kedua
Khusus
Pasal 35
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas
dan wewenang kejaksaan;
b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d. Mengajukan kasasi dem kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata,
dan tata usaha negara;
e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi
perkara pidana;
f. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
(1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan
dirumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri.
(2) Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala
kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan
di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter,
dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas meyatakan
kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupi fasilitas perawatan tersebut di dalam
negeri.
Pasal 37
(1) Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan
berdasarkan hukum dan hati nurari.
(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan rakyat sesuai dengan akuntabilitas.
BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 38
Untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan
dan kewenangannya diatur oleh Presiden.
Pasal 39
Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur dalam Qanun sebagaimana dimaksud dalam
Udang-Udang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewah Aceh
sebagai provinsi Nanghroe Aceh Darussalam, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
kejasaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan undang-
Undang ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang kejaksaan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3451), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tdd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2004
SEKERTARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 67
PENJELASAN
ATAS
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2004
TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
I. U M U M.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip
penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum
(equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam usaha memperkuat prinsip di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam
kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan
perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan badan-bandan lain tersebut dipertegas
oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah
Kejaksaan Republik Indonesia.
Sejalan dengan perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan beberapa undang-undang yang baru,
serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan maka
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi
sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-undang yang
baru.
Perubahan Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih
memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam
menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali
terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut di atas.
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu
mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan
mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai
kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut
menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut
menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan
masyarakat.
Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang disempurnakan, antara lain :
1. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu,
Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas
penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati
nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan
dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.
2. Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan
pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai dengan profesionalisme dan
fungsi Kejaksaan, ditentukan bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia
pensiun jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua)
tahun.
3. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk
menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan
untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
4. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden.
5. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya
memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga
membela dan melindungi kepentingan rakyat.
II. PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara merdeka” dalam ketentuan ini adalah dalam melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” adalah satu landasan dalam
pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan
kebijakan dibidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir,
tata laku, dan tata kerja Kejaksaan.
Oleh karena itu kegiatan penuntutan di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena
jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan
tetap berlangsung sekalipun untuk itu dilakukan oleh jaksa lainnya sebagai pengganti.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah keadaan yang harus dipertimbangkan perlunya
percepatan layanan hukum kepada masyarakat dalam pembentukan cabang Kejaksaan, antara lain :
a. wilayah hukum Kejaksaan negeri yang luas;
b. kondisi geografis dan demografis; atau
c. intensitas layanan tugas yang tinggi.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan dalam ayat ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada jaksa yang telah diatur
dalam Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors yaitu negara
yang menjamin bahwa jaksa sanggup untuk menjalankan profesi mereka tanpa intimidasi, gangguan,
godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji kebenarannya baik
terhadap pertanggungjawaban perdata, pidana, maupun pertanggungjawaban lainnya.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan, pemilik saham dalam
perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya, atau memiliki saham
tetapi saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan jalannya
perusahaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sakit rohani dan jasmani terus menerus” adalah sakit yang menyebabkan si
penderita tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah jaksa diberhentikan dari jabatan fungsionalnya.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dipidana” ialah dijatuhi pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
Huruf b
Yang dimaksud dengan “terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaan”
adalah apabila dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari, yang bersangkutan tidak
menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa suatu alasan yang sah.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “perbuatan tercela” adalah sikap, perbuatan, dan tindakan jaksa yang
bersangkutan baik pada saat bertugas maupun tidak bertugas merendahkan martabat jaksa atau
Kejaksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemberhentian sementara” adalah tindakan memberhentikan sementara waktu
sebagai jaksa, sampai adanya keputusan defenitif dari Jaksa Agung berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau keputusan Majelis Kehormatan Jaksa atas
kesalahan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Dengan adanya surat perintah penangkapan dan penahanan oleh pihak yang berwenang maka Jaksa
Agung segera menyusuli dengan surat keputusan pemberhentian sementara.
Ayat (2)
Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
menetapkan tindak pidana tertentu yang memberi wewenang kepada penyidik, penuntut umum, atau
pengadilan untuk melakukan tindakan penahanan atas pelaku tindak pidana tersebut. Dalam hal
seorang jaksa dituntut dimuka pengadilan karena melakukan salah satu tindak pidana tersebut,
walaupun yang bersangkutan tidak ditahan, ia dapat dikenakan tindakan pemberhentian sementara.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1).
Mengingat Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan
pelaksanaan tugas dan ewenang kejaksaan maka Jaksa Agung adalah juga pimpinan dan penanggung
jawab tertinggi dalam bidang penuntutan.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Yang dimaksud dengan “kesatuan unsur pimpinan” adalah wujud keterpaduan dan kebersamaan antara
Jaksa Agung dan wakil Jaksa Agung dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Jaksa
Agung.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pejabat negara lain atau penyelenggara negara”, misalnya anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
menteri, hakim,dan pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan, pemilik saham dalam
perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya, atau memiliki saham
tetapi saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan jalannya
perusahaan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1).
Adanya jabatan Wakil Jaksa Agung akan sangat membantu Jaksa Agung khususnya dalam pembinaan
administrasi sehari-hari dan segi-segi teknis operasional lainnya. Karena sifat tugasnya tersebut maka
jabatan Wakil Jaksa Agung merupakan jabatan karier dalam lingkungan kejaksaan.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Yang dimaksud dengan “yang dipersamakan” adalah jabatan yang setara dengan Eselon I.
Pasal 24
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Yang dimaksud dengan “ jabatan yang dipersamakan dengan jabatan kepala kejaksaan tinggi” adalah
jabatan kepala direktorat, kepala biro, atau jabatan lainnya yang setingkat.
Ayat (3).
Pada dasarnya jabatan Jaksa Agung Muda adalah jabatan karier. Ketentuan dalam ayat ini memberikan
kemungkinan pengangkatan seorang Jaksa Agung Muda dari luar lingkungan kejaksaan. Sifatnya
sangat selektif dan berdasarkan kebutuhan serta pejabat tersebut mempunyai keahlian tertentu yang
bermanfaat bagi pelaksana tugas dan wewenang kejaksaan.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lihat penjelasan pasal 12 huruf b.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Yang dimaksud dengan “ tenaga ahli” adalah ahli dalam berbagai disiplin ilmu dan tidak dimaksudkan
untuk memberikan “keterangan ahli” dalam suatu persidangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Yang dimaksud dengan “tenaga tata usaha “ adalah tenaga yang tidak melaksanakan fungsi jaksa.
Ayat (3).
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1).
Huruf a
Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan
jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya
penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah
berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
Huruf b
Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa
mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.
Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan
pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan
disita untuk selanjutnya dijual lelang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri
yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang pemasyarakatan.
Huruf d
Kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Huruf e
Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1) Tidak dilakukan terhadap tersangka,
2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan
masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara.
3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan pasal
110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat prevensif dan/atau edukatif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan” adalah mencangkup kegiatan-kegiatan bersifat
membantu, turut serta, dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan
senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan
keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan,
kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana
terpadu.
Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan
berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing.
Kerjasama antara kejaksaan dengan instansi penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana,
dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “ kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau
kepentingan masyarakat luas.
Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakuka oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat
dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Huruf d
pengajuan kasasi demi kepentingan hukum ini adalah sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini, tersangka atau terdakwa atau
keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk
sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung.
Diperlukannya izin dalam ketentuan ini oleh karena status tersangka atau terdakwa yang sedang
dikenakan tindakan hukum, misalnya berupa penahanan, kewajiban lapor, dan/atau pencegahan dan
penangkalan.
Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah tersangka atau terdakwa yang berada dalam
tanggung jawab kejaksaan.
Yang dimaksud dengan “ dalam keadaan tetentu” adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani
perawatan di dalam negeri tidak ada.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Selain rekomendasi dari dokter untuk berobat ke luar negeri, juga disyaratkan adanya jaminan
tersangka atau terdakwa atau keluarganya berupa uang sejumlah kerugian negara yang diduga
dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
Apabila tersangka atau terdakwa tidak kembali tanpa alasan yang sah dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun uang jaminan tersebut menjadi milik negara. Pelaksaannya dilakukan sesuai ketentuan
perundang-undangan.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan pertanggungjawaban yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan melalui
rapat kerja.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “ mengenai perkara pidana” dalam ketentuan ini adalah seluruh proses yang
menjadi kewenangan kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum acara Pidana.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4401
NOMOR 16 TAHUN 2004
TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka pengakuan hukum dan keadilan
merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional;
b. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak
sesuai lagi degan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu membentuk Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
Mengingat:
1. Pasal 20, pasal 21, dan pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 3209;
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 4358 );
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
4. Jabatan Fungsionla jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan yang
karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas Kejaksaan.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
(1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan undang-undang.
(2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
(3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.
Pasal 3
Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan
Agung, Kejaksaan tinggi, dan Kejaksaan negeri.
Pasal 4
(1) Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
(2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
(3) Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah
kabupaten/kota.
BAB II
SUSUNAN KEJAKSAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Sunanan Kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.
Pasal 6
(1) Susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2) Kejaksaan tinggi dan Kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa Agung.
Pasal 7
(1) Dalam hal tertentu di daerah hukum Kejaksaan negeri dapat dibentuk cabang Kejaksaan negeri.
(2) Cabang Kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Jaksa Agung.
Bagian Kedua
J a k s a
Pasal 8
(1) Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta
bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
(3) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan
dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah.
(4) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya , jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan
mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan
martabat profesinya.
(5) Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jaksa diduga melakukan tindak
pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa
yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Pasal 9
(1) Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah :
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah paling rendah sarjana hukum;
e. berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
h. pegawai negeri sipil.
(2) Selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat diangkat menjadi jaksa, harus lulus
pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, syarat, atau petunjuk pelaksanaan untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh
Jaksa Agung.
Pasal 10
(1) Sebelum memangku jabatannya, jaksa wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di
hadapan Jaksa Agung.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan setia kepada dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia, serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik
Indonesia.
bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan,
serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh-sungguh,
seksama, obyektif, jujur, berani, professional, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras,
jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta
bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara.
bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur
tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang
diamanatkan undang-undang kepada saya.
bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu
apapun kepada siapapun juga.
bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian”.
Pasal 11
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, jaksa dilarang merangkap menjadi.
a. pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta.
b. advokad
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan atau pekerjaan yang dilarang dirangkap selain jabatan atau
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 12
Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun;
d. meninggal dunia;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas.
Pasal 13
(1) Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaanya;
c. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
e. melakukan perbuatan tercela.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah jaksa yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Jaksa,
serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Pasal 14
(1) Jaksa yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan sendirinya diberhentikan
sebagai pegawai negeri sipil.
(2) Sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jaksa yang
bersangkutan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
(3) Setelah seorang jaksa diberhentikan sementara dari jabatan fungsionalnya berlaku pula ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) tentang kesempatan untuk membela diri.
Pasal 15
(1) Apabila terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan terhadap seorang jaksa, dengan
sendirinya jaksa yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
(2) Dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimkasud dalam
Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan,
jaksa dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan
hormat, dan pemberhentian sementara, serta hak-hak fungsional jaksa yang terkena pemberhentian diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Ketentuan mengenai tunjangan jabatan fungsional jaksa diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Muda
Pasal 18
(1) Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.
(2) Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda.
(3) Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan.
(4) Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan.
Pasal 19
(1) Jaksa Agung adalah pejabat negara.
(2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Pasal 20
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf a, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g.
Pasal 21
Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi:
a. Pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturann perundang-undangan;
b. Advokat;
c. Wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terakait dalam perkara yang sedang diperiksa olehnya;
d. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta;
e. Notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah;
f. Arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan perturan perundangundangan;
g. Pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau
h. Pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang.
Pasal 22
(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. berakhir masa jabatannya;
e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Pasal 23
(1) Wakil Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2) Wakil Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung
(3) Yang dapat diangkat menjadi Wakil Jaksa Agung adalah Jaksa Agung Muda, atau yang dipersamakan
dengan memperhatikan jenjang dan jabatan karier.
Pasal 24
(1) Jaksa Agung Muda dingkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2) Yang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung Muda adalah jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
yang berpengalaman sebagai kepala kejaksaan tinggi atau jabatan yang dipersamakan dengan jabatan
kepala kejaksaan tinggi.
(3) Jaksa Agung Muda dapat diangkat dari luar lingkungan kejaksaan dengan syarat mempunyai keahlian
tertentu.
(4) Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. berakhir masa jabatannya;
e. Tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pasal 25
(1) Dalam hal Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda dinilai melakukan perbuatan yang dapat
menyebabkan pemberhentian tidak dengan hormat seabagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1),
Presiden atas usul Jaksa Agung dapat memberhentikan untuk sementara dari jabatnnya sebelum
diambil tindakan pemberhentian tersebut.
(2) Ketentuan tentang pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), berlaku pula
terhadap Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda.
Bagian Keempat
Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi,
Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.
Pasal 26
(1) Kepala kejaksaan tinggi pimpinan kejaksaan tinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan
wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
(2) Kepala kejaksaan tinggi dibantu oleh seorang wakil kepala kejaksaan tinggi sebagai kesatuan unsur
pimpinan, beberapa orang unsur pembantu pimpinan, dan unsur pelaksana.
Pasal 27
(1) Kepala kejaksaan negeri adalah pimpinan kejaksaan negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan
wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
(2) Kepala kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
(3) Kepala cabang kejaksaan negeri adalah pimpinan cabang kejaksaan negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di sebagian daerah
hukum kejaksaan negeri yang membawahkannya.
(4) Kepala cabang kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pelaksana.
Pasal 28
Yang dapat diangkat menjadi kepala kejaksaan tinggi, wakil kepala kejaksaan tinggi, kepala kejaksaan
negeri, dan kepala cabang kejaksaan negeri adalah jaksa yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
lebih lanjut oleh Jaksa Agung.
Bagian Kelima
Jabatan Fungsional dan Tenaga Ahli
Pasal 29
(1) Pada kejaksaan dapat ditugaskan pegawai negeri yang tidak menduduki jabatan fungsional jaksa, yang
diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung menurut perundang-undangan.
(2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diangkat sebagai tenaga ahli atau tenaga
tata usaha untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan.
(3) Selain tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada kejaksaan dapat diangkat tenaga ahli
bukan dari pegawai negeri.
BAB III
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 30
(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam
maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
Pasal 31
Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat
perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau
disebabkab oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri
Pasal 32
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan
wewenag lain berdasarkan undang-undang.
Pasal 33
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak
hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya
Pasal 34
Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Bagian Kedua
Khusus
Pasal 35
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas
dan wewenang kejaksaan;
b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d. Mengajukan kasasi dem kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata,
dan tata usaha negara;
e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi
perkara pidana;
f. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 36
(1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan
dirumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri.
(2) Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala
kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan
di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter,
dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas meyatakan
kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupi fasilitas perawatan tersebut di dalam
negeri.
Pasal 37
(1) Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan
berdasarkan hukum dan hati nurari.
(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan rakyat sesuai dengan akuntabilitas.
BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 38
Untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan
dan kewenangannya diatur oleh Presiden.
Pasal 39
Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur dalam Qanun sebagaimana dimaksud dalam
Udang-Udang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewah Aceh
sebagai provinsi Nanghroe Aceh Darussalam, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
kejasaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan undang-
Undang ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang kejaksaan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3451), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tdd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2004
SEKERTARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 67
PENJELASAN
ATAS
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2004
TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
I. U M U M.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip
penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum
(equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam usaha memperkuat prinsip di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam
kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan
perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan badan-bandan lain tersebut dipertegas
oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa
badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah
Kejaksaan Republik Indonesia.
Sejalan dengan perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan beberapa undang-undang yang baru,
serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan maka
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi
sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-undang yang
baru.
Perubahan Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih
memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam
menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali
terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut di atas.
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu
mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan
mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai
kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut
menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut
menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan
masyarakat.
Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang disempurnakan, antara lain :
1. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu,
Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas
penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati
nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan
dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.
2. Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan
pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai dengan profesionalisme dan
fungsi Kejaksaan, ditentukan bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia
pensiun jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua)
tahun.
3. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk
menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan
untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
4. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden.
5. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya
memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga
membela dan melindungi kepentingan rakyat.
II. PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara merdeka” dalam ketentuan ini adalah dalam melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” adalah satu landasan dalam
pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan
kebijakan dibidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir,
tata laku, dan tata kerja Kejaksaan.
Oleh karena itu kegiatan penuntutan di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena
jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan
tetap berlangsung sekalipun untuk itu dilakukan oleh jaksa lainnya sebagai pengganti.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah keadaan yang harus dipertimbangkan perlunya
percepatan layanan hukum kepada masyarakat dalam pembentukan cabang Kejaksaan, antara lain :
a. wilayah hukum Kejaksaan negeri yang luas;
b. kondisi geografis dan demografis; atau
c. intensitas layanan tugas yang tinggi.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan dalam ayat ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada jaksa yang telah diatur
dalam Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors yaitu negara
yang menjamin bahwa jaksa sanggup untuk menjalankan profesi mereka tanpa intimidasi, gangguan,
godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji kebenarannya baik
terhadap pertanggungjawaban perdata, pidana, maupun pertanggungjawaban lainnya.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan, pemilik saham dalam
perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya, atau memiliki saham
tetapi saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan jalannya
perusahaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sakit rohani dan jasmani terus menerus” adalah sakit yang menyebabkan si
penderita tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah jaksa diberhentikan dari jabatan fungsionalnya.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dipidana” ialah dijatuhi pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
Huruf b
Yang dimaksud dengan “terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaan”
adalah apabila dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari, yang bersangkutan tidak
menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa suatu alasan yang sah.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “perbuatan tercela” adalah sikap, perbuatan, dan tindakan jaksa yang
bersangkutan baik pada saat bertugas maupun tidak bertugas merendahkan martabat jaksa atau
Kejaksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemberhentian sementara” adalah tindakan memberhentikan sementara waktu
sebagai jaksa, sampai adanya keputusan defenitif dari Jaksa Agung berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau keputusan Majelis Kehormatan Jaksa atas
kesalahan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Dengan adanya surat perintah penangkapan dan penahanan oleh pihak yang berwenang maka Jaksa
Agung segera menyusuli dengan surat keputusan pemberhentian sementara.
Ayat (2)
Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
menetapkan tindak pidana tertentu yang memberi wewenang kepada penyidik, penuntut umum, atau
pengadilan untuk melakukan tindakan penahanan atas pelaku tindak pidana tersebut. Dalam hal
seorang jaksa dituntut dimuka pengadilan karena melakukan salah satu tindak pidana tersebut,
walaupun yang bersangkutan tidak ditahan, ia dapat dikenakan tindakan pemberhentian sementara.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1).
Mengingat Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan
pelaksanaan tugas dan ewenang kejaksaan maka Jaksa Agung adalah juga pimpinan dan penanggung
jawab tertinggi dalam bidang penuntutan.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Yang dimaksud dengan “kesatuan unsur pimpinan” adalah wujud keterpaduan dan kebersamaan antara
Jaksa Agung dan wakil Jaksa Agung dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Jaksa
Agung.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pejabat negara lain atau penyelenggara negara”, misalnya anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
menteri, hakim,dan pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan, pemilik saham dalam
perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya, atau memiliki saham
tetapi saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan jalannya
perusahaan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1).
Adanya jabatan Wakil Jaksa Agung akan sangat membantu Jaksa Agung khususnya dalam pembinaan
administrasi sehari-hari dan segi-segi teknis operasional lainnya. Karena sifat tugasnya tersebut maka
jabatan Wakil Jaksa Agung merupakan jabatan karier dalam lingkungan kejaksaan.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Yang dimaksud dengan “yang dipersamakan” adalah jabatan yang setara dengan Eselon I.
Pasal 24
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Yang dimaksud dengan “ jabatan yang dipersamakan dengan jabatan kepala kejaksaan tinggi” adalah
jabatan kepala direktorat, kepala biro, atau jabatan lainnya yang setingkat.
Ayat (3).
Pada dasarnya jabatan Jaksa Agung Muda adalah jabatan karier. Ketentuan dalam ayat ini memberikan
kemungkinan pengangkatan seorang Jaksa Agung Muda dari luar lingkungan kejaksaan. Sifatnya
sangat selektif dan berdasarkan kebutuhan serta pejabat tersebut mempunyai keahlian tertentu yang
bermanfaat bagi pelaksana tugas dan wewenang kejaksaan.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lihat penjelasan pasal 12 huruf b.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Yang dimaksud dengan “ tenaga ahli” adalah ahli dalam berbagai disiplin ilmu dan tidak dimaksudkan
untuk memberikan “keterangan ahli” dalam suatu persidangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Yang dimaksud dengan “tenaga tata usaha “ adalah tenaga yang tidak melaksanakan fungsi jaksa.
Ayat (3).
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1).
Huruf a
Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan
jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya
penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah
berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
Huruf b
Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa
mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.
Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan
pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan
disita untuk selanjutnya dijual lelang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri
yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang pemasyarakatan.
Huruf d
Kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Huruf e
Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
1) Tidak dilakukan terhadap tersangka,
2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan
masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara.
3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan pasal
110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat prevensif dan/atau edukatif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan” adalah mencangkup kegiatan-kegiatan bersifat
membantu, turut serta, dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan
senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan
keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan,
kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana
terpadu.
Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan
berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing.
Kerjasama antara kejaksaan dengan instansi penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana,
dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “ kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau
kepentingan masyarakat luas.
Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas
oportunitas, yang hanya dapat dilakuka oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat
dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Huruf d
pengajuan kasasi demi kepentingan hukum ini adalah sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini, tersangka atau terdakwa atau
keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk
sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung.
Diperlukannya izin dalam ketentuan ini oleh karena status tersangka atau terdakwa yang sedang
dikenakan tindakan hukum, misalnya berupa penahanan, kewajiban lapor, dan/atau pencegahan dan
penangkalan.
Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah tersangka atau terdakwa yang berada dalam
tanggung jawab kejaksaan.
Yang dimaksud dengan “ dalam keadaan tetentu” adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani
perawatan di dalam negeri tidak ada.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Selain rekomendasi dari dokter untuk berobat ke luar negeri, juga disyaratkan adanya jaminan
tersangka atau terdakwa atau keluarganya berupa uang sejumlah kerugian negara yang diduga
dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
Apabila tersangka atau terdakwa tidak kembali tanpa alasan yang sah dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun uang jaminan tersebut menjadi milik negara. Pelaksaannya dilakukan sesuai ketentuan
perundang-undangan.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan pertanggungjawaban yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan melalui
rapat kerja.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “ mengenai perkara pidana” dalam ketentuan ini adalah seluruh proses yang
menjadi kewenangan kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum acara Pidana.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4401
Langganan:
Postingan (Atom)