ads

negri Ads

Selasa, 21 April 2009

SITA PERKARA PERDATA PENGADILAN AGAMA

Sita merupakan tindakan paksa yang dilakukan oleh hakim terhadap suatu barang untuk diletakkan atas permintaan penggugat supaya gugatannya tidak sia-sia apabila memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan disitanya suatu benda / barang, maka barang / benda tersebut berada dalam status pengawasan, yaitu tidak boleh :
Disewakan
Diperjual belikan
Ditukar
Diasingkan
Diagunkan
Dan terhadap benda / barang yang telah diletakkan sita, maka tidak dapat disita lagi untuk yang kedua kalinya oleh pengadilan.

Jenis-jenis sita:

Sita Jaminan (Conservatoir beslaag)
Adalah sita terhadap barang-barang milik tergugat yang disengketakan status kepemilikannya, atau dalam sengketa hutang piutang atau tuntutan ganti rugi. Sita jaminan (Conservatoir Beslaag) ini diatur dalam pasal 227 HIR.
Adapun mengenai proses permohonan sita jaminan adalah dilakukan dengan:
a) Permohonan sita jaminan dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan, oleh karena itu permohonan sita jaminan menjadi bagian dari pokok gugatan yang assesoris (diletakkan) pada pokok gugatan. Karena itu pula permohonan sita jaminan tidak boleh berdiri sendiri tanpa ada perkara pokok dan perkara pokok bisa ada tanpa sita jaminan. Permohonan sita jaminan itu biasanya dicantumkan pada bagian akhir “fundamentum petendi” (tuntutan).
b) Permohonan sita jaminan dapat diajukan tersendiri asalkan didahului oleh adanya gugatan pokok sebagai landasannya.
c) Permohonan sita jaminan dapat diajukan selama proses persidangan berlangsung pada semua tingkat pengadilan.
Memahami pasal 227 (1) HIR. Bahwa sita jaminan (Concervatoir Beslaag) dapat dilakukan oleh penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan akan tetapi putusan tersebut belum dapat dilaksanakan.
Tata cara concervatoir beslag:
a. Penggugat dapat mengajukan permohonan sita bersama-sama (menjadi satu) dengan surat gugatan, mengenai pokok perkara.
b. Permohonan sita dapat diajukan tersendiri, selama proses perkara berlangsung atau sebelum ada eksekusi.
c. Permohonan diajukan kepada Pengadilan yang memeriksa perkara pada tingkat pertama.
d. Dalam permohonan sita concervatoir harus ada alasan permohonan sita, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tergugat akan memindahtangankan atau mengasingkan barang-barang sengketa sehingga akan merugikan penggugat.
e. Alasan tersebut disertai data-data atau fakta-fakta yang menjadi dasar kekhawatiran.
f. Hakim/majelis akan mempertimbangkan permohonan sita tersebut dengan mengadakan pemeriksaan secara insidentil mengenai kebenaran fakta-fakta yang menimbulkan kekhawatiran itu sehingga diajukannya permohonan sita.
g. Hakim/ketua majelis mengeluarkan “penetapan”, yang isinya menolak atau mengabulkan permohonan sita tersebut.
h. Apabila permohonan sita ditolak kemudian timbul hal-hal baru yang mengkhawatirkan bagi penggugat sebagai alasan permohonan sita, maka dapat diajukan lagi permohonan sita.
i. Dalam hal permohonan sita dikabulkan, maka hakim/ketua majelis memerintahkan kepada panitera untuk melaksanakan penyitaan tersebut.
j. Penetapan pengabulan sita atau perintah penyitaan tersebut dapat: bersama-sama (menjadi satu) dengan penetapan hari sidang (PHS) dan perintah panggilan para pihak atau terpisah dari PHS, yaitu : perintah penyitaan lebih dahulu dan PS kemudian / PHS lebih dulu dan perintah penyitaan kemudian.
k. Atas perintah hakim tersebut, panitera melalui jurusita memberitahukan kepada para pihak dan kepala desa setempat akan dilangsungkannya sita jaminan terhadap barang sengketa / jaminan pada hari, tanggal, dan jam serta tempat yang telah ditetapkan, serta memerintahkan agar para pihak dan kepala desa tersebut hadir dalam pelaksanaan sita jaminan yang telah ditetapkan itu.
l. Penyitaan dilakukan oleh panitera dan dibantu oleh dua orang saksi. Apabila panitera tersebut berhalangan maka dapat ditunjuk pejabat atau pegawai lainnya oleh panitera.
m. Pada hari, tanggal yang telah ditetapkan tersebut, panitera melaksanakan penyitaan.
n. Panitera memberitahukan penyitaan tersebut kepada pihak tersita dan kepala desa / lurah setempat.
o. Pemeliharaan barang-barang tersita tetap berada di tangan pihak tersita.
p. Panitera melaporkan penyitaan tersebut pada hakim / ketua majelis yang memerintahkan sita tersebut dengan menyerahkan berita acara sita.
q. Majelis membacakan berita acara Sita tersebut pada persidangan berikutnya dan menetapkan sah dan berharga penyitaan tersebut yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan.
r. Apabila barang-barang yang disita berupa benda tetap atau benda yang tercatat dalam lembaga/Kantor Pemerintah maka hal itu diberitahukan kepada lembaga/Kantor yang bersangkutan.
s. Hendaknya tentang sita itu di catat dibuku khusus yang di sediakan di Pengadilan Agama yang memuat catatan mengenai tanah-tanah yang disita, kapan disita dan perkembanganya, Buku ini adalah terbuka untuk umum.
t. Apabila gugatan di kabulkan, sita jaminan akan dinyatakan sah dan berharga oleh Hakim dalam Amar putusanya. Apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat.
u. Apabila gugat dikabulkan sebagian dan selebihnya ditolak, maka sita jaminan untuk sebagian dinyatakan sah dan berharga sedang untuk sebagian yang lain diperintahkan untuk diangkat, kecuali dalam hal ini yang tidak mungkin dipisahkan dalam penyitaan, seperti tanah dan rumah, dan sebagainya.
v. Pengangkatan sita dilakukan atas permohonan pihak yang bersangkutan

Sita Revindicatoir Beslaag
Adalah diatur dalam Pasal 226 HIR, 260 RBg, 714 Rv, jo Pasal 1977 KUHPer. Adapun kata Revindicatoir adalah berasal dari kata “revindiceer” yang artinya “mendapatkan” dan pengertian revindicatoir beslaag adalah mengandung pengertian “untuk mendapatkan hak kembali”. Maksudnya adalah barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung.
Ketentuan Pasal 226 HIR dapat dipahami bahwa untuk dapat diletakkan sita revindicatoir beslag itu adalah harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Harus berupa barang bergerak
b) Barang bergerak tersebut adalah merupakan barang milik penggugat yang berada ditangan tergugat
c) Permintaannya harus diajukan kepada Ketua pengadilan
d) Permintaan sita dapat diajukan secara lisan atau tulisan
e) Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama dan terperinci

Sita Harta Bersama
Sita harta bersama (maritaal beslaag) ialah sita yang diletakkan atas harta perkawinan. Sita marital diatur dalam pasal 78 huruf c UU. No. 7/19989 jo. Pasal 24 PP No. 9/1975, pasal 95 Kompilasi Hukum Islam.
Sita ini dapat dimohonkan oleh suami atau isteri dalam sengketa perceraian, pembagian harta perkawinan, pengamanan harta perkawinan. Sita dapat diletakkan atas semua harta perkawinan yang meliputi harta suami, harta isteri dan harta bersama suami isteri yang disengketakan dalam pembagian harta bersama. Sita harta bersama ini dapat diajukan bersama-sama dalam pemeriksaan perceraian atau setelah perceraian terjadi. Selama masa sita tidak dapat dilakukan penjualanatas harta bersama untuk kepentingan keluarga kecuali dengan izin dari pengadilan Agama. Adapun tata cara sita ini, sama dengan sita pada umumnya.
Sita Eksekusi

Putusan hakim

Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 (tiga) macam, yaitu:
1) Putusan
2) Penetapan
3) Akta perdamaian
Putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Penetapan ialah juga pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka bentuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair)
Akta perdamaian ialah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.
Dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam, yaitu:
Putusan akhir
Putusan sela
Kemudian jika dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, ada 3 (tiga) macam, yaitu:
Putusan gugur
Putusan verstek
Putusan kontradiktoir
Jika dilihat dari segi isinya terhadap gugatan / perkara ada dua macam, yaitu positif dan negative, yang dapat dirinci menjadi empat macam:
Tidak menerima gugatan penggugat
Menolak gugatan penggugat seluruhnya
Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/ tidak menerima selebihnya
Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya
Dan jika dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka ada 3 (tiga) macam, yaitu:
Diklaratoir
Konstitutif
Kondemnatoir
Untuk mengenal lebih jelas macam-macam putusan ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Putusan akhir
Ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik yang melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang tidak menempuh semua tahap pemeriksaan. Putusan yang dijatuhkan sebelum sampai tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, yaitu: putusan gugur, putusan verstek yang tidak diajukan verzet, putusan tidak menerima, putusan yang mengatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa.
Semua itu belum menempuh tahap-tahap pemeriksaan secara keseluruhan melainkan baru pada tahap awal saja. Semua putusan akhir dapat dimintakan banding, kecuali undang-undang menentukan lain.
Putusan sela
ialah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. Putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan. Putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah melainkan ditulis di dalam berita acara persidangan saja. Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang. Putusan ini selalu tunduk pada putusan akhir, karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya akan dipertimbangkan pula pada putusan akhir.
Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir (pasal 201 R.Bg / pasal 9 ayat (1) UU No. 20/1947). Para pihak dapat meminta, supaya kepadanya diberisalinan yang sah dari putusan itu dengan biaya sendiri. Hal-hal yang menurut hukum acara perdata memerlukan putusan sela, antara lain:
a. Tentang pemeriksaan prodeo
b. Tentang pemeriksaan eksepsi tidak berwenang
c. Tentang sumpah supletoir
d. Tentang sumpah decisoir
e. Tentang sumpah penaksir
f. Tentang gugat provisional
g. Tentang gugat insidentil
Mengenal beberapa nama putusan sela, yaitu:
a) Putusan Praeparatoir, yaitu putusan sela yang merupakan persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir.
b) Putusan interlocutoir, yaitu putusan sela yang isinya memerintahkan pembuktian.
c) Putusan insidentil, yaitu putusan sela yang berhubungan dengan incident, yakni peristiwa yang untuk sementara menghentikan pemeriksaan tetapi belum berhubungan dengan pokok perkara.
d) Putusan provisional, yaitu putusan sela yang menjawab gugat provisional.
Putusan gugur (pasal 124 HIR / pasal 148 R.Bg)
Ialah putusan yang menyatakan bahwa gugatan / permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak hadir.
Putusan verstek (pasal 125 HIR / 149 R.Bg)
Ialah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak hadir meskipun telah dipanggil secara resmi. Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat-syaratnya, yaitu:
§ Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut.
§ Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain serta tidak ternyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan yang sah.
§ Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan.
§ Penggugat hadir di persidangan.
§ Penggugat mohon keputusan.
Putusan kontradiktoir
Ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan / diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu pihak atau para pihak. Dalam pemeriksaan / putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang. Terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding.


Putusan tidak menerima
Yaitu putusan hakim yang menyatakan bahwa hakim “tidak menerima gugatan penggugat / permohonan pemohon” atau dengan kata lain “gugatan penggugat / permohonan pemohon tidak diterima”, karena gugatan / permohonan tidak memenuhi syarat hukum, baik secara formil maupun materiil.
Putusan menolak gugatan penggugat
Yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan, dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti. Putusan ini termasuk putusan negative.
Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak / tidak menerima selebihnya.
Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya
Putusan diklaratoir
Yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut hukum. Semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklaratoir dalam bentuk “penetapan” atau “besciking”. Putusan ini biasa berbunyi “Menyatakan”. Putusan ini juga tidak memerlukan eksekusi.
Putusan konstitutif
Yaitu suatu putusan yang menciptakan / menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain. Putusan konstitutif biasa berbunyi “menetapkan” atau memakai kalimat lain bersifat aktif dan bertalian langsung dengan pokok perkara, sedangkan keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak saat putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Putusan kondemnatoir
Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu pada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi. Putusan ini terdapat pada perkara kontentius, dan memerlukan eksekusi.
Apabila pihak terhukum tidak dapat memenuhi / melaksanakan putusan dengan sukarela, maka atas permohonan penggugat, putusan dapat dilaksanakan dengan paksa oleh pengadilan yang memutusnya.
Putusan kondemnatoir dapat berupa penghukuman untuk:
a. Menyerahkan suatu barang
b. Membayar sejumlah uang
c. Melakukan suatu perbuatan tertentu
d. Menghentikan suatu perbuatan / keadaan
e. Mengosongkan tanah / rumah.

Mediasi

Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidak puasan seseorang atau beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain (pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban tergugat kepada penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, dengan harapan Hakim dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat memenuhi kewajibannya.
Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk dapat mendamaikan para pihak melalui jalur mediasi, dan boleh jadi para pihak menunjuk mediator yang bukan Hakim atau orang lain di luar Pengadilan.
Lain hal dengan Pengadilan di Jepang, masyarakat lebih memilih mengajukan permohonan minta didamaikan oleh Pengadilan (Permohonan konsiliasi/Cote) bukan mengajukan gugatan, dan umumnya berhasil. Persidangan konsiliasi/Cote dipimpinoleh seorang Hakim dan didampingi oleh dua orang konsiliator, dua orang konsiliator tersebut ada diantaranya pensiunan Hakim, atau Pengacara yang kawakan, atau dokter ahli, atau ahli pertanahan, tokoh masyarakat, dlsb. Para konsiliator diberi honor oleh Pemerintah Jepang. Ada juga perdamaian yang terjadi di Pengadilan Jepang berdasarkan gugatan, dan hasil perdamaiannya disebut Wakai.
Mahkamah Agung dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 memakai system mediasi, hal itu yang akan dibahas dalam Bab berikutnya.
Pengadilan telah memanggil pihak-pihak untuk bersidang, kemudian para pihak atau wakilnya datang menghadap, maka Ketua Majelis Hakim wajib menunda persidangan guna menempuh perdamaian dengan para pihak menunjuk mediator, boleh jadi kesepakatan para pihak atau wakilnya untuk menunjuk salah seorang Hakim di Pengadilan atau Panitera / Panitera Pengganti, atau orang lain di luar daftar mediator yang ada di Pengadilan. Perhal tentang mediasi adalah menggali kehendak UU (Pasal 30 HIR / Pasal 154 R.Bg)
Praktek yang telah lama berjalan, adalah Upaya Majelis Hakim menasehati pihak-pihak berperkara dalam persidangan pertama tersebut, kemudian menawarkan kepada para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai. Proses menasehati dan menawarkan perdamaian inilah yang menurut pandangan Mahkamah Agung, sebagai upaya yang belum sungguh-sungguh pelaksanaannya oleh Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama, dan oleh karenanya lahirlah PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tersebut. “Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Dari pengertian mediasi sebagaimana tersebut diatas, mengandung makna, yakni para pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak melalui jalur perundingan dengan dibantu oleh seorang mediator. Dengan adanya kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak diharapkan dapat meminimalisir terbuangnya waktu serta biaya yang akan dikeluarkan oleh mereka dalam menyelesaikan sengketa.
Beberapa hal yang harus mendapat perhatian penuh dari pimpinan pengadilan, antara lain :
Telah memiliki daftar mediator;
Menyediakan tempat untuk pelaksanaan mediasi;
Pada prinsipnya apabila para pihak atau wakilnya hadir dalam persidangan pertama, kemudian majelis hakim berupaya menasehati dan mengarahkan para pihak agar memilih penyelesaian secara damai, maka jika para pihak sepakat untuk berdamai dan minta kepada Pengadilan agar menerbitkan akta perdamaian, Pengadilan cukup sekali bersidang pada hari itu saja dengan produk akta perdamaian. Sekiranya para pihak sepakat untuk membuat perdamaian sendiri di luar persidangan dan penggugat mencabut gugatannya, hal tersebut juga dibolehkan. Bedanya produk Pengadilan berupa akta perdamaian, sengketa kedua belah pihak benar-benar berakhir, sudah tidak dimungkinkan lagi untuk diajukan kembali ke Pengadilan manapun, baik tingkat pertama, banding maupun kasasi, hal demikianlah yang dimaksudkan dengan pasal 130 ayat (1) HIR / pasal 154 ayat (1) R.Bg jo. Pasal 130 ayat (3) / pasal 154 ayat (3) R.Bg jo. Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1985.
Sedangkan perdamaian antara kedua belah pihak yang terjadi di luar persidangan pengadilan, biasa disebut dengan istilah “dading”. Perdamaian dading mengikat kedua belah pihak yang berdamai, diharapkan keduanya tunduk dan mematuhi isi kesepakatan yang mereka perbuat, tetapi jika salah satupihak tidak mau melaksanakan isi kesepakatan tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan tidak dapat memohon kepada Pengadilan untuk dieksekusi, dan sekalipun surat perdamaian tersebut dibuat dihadapan Notaris. Yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan baru.
“Segala perdamaian diantara para pihak mempunyai suatu kekuatan suatu putusan Hakim dalam hukum yang penghabisan, tidak dapatlah dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan salah satu pihak dirugikan “ (Pasal 1858 KUHPerdata).
Bila upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, barulah ditempuh upaya mediasi :
Ketua atau Anggota Majelis tidak diperbolehkan bertindak sebagai mediator.
Problemnya : di lingkungan Peradilan Agama, Hakim masih sangat terbatas, para pihak sepakat Hakim A lah yang mereka sukai sebagai penengah, padahal Hakim A adalah Ketua atau Anggota Majelis perkara tersebut. Perlu ada pengecualian untuk Pengadilan Agama yang masih kekurangan tenaga Hakim.
Mediator harus telah memiliki “sertifikat”.
Problemnya : persyaratan tersebut tidak tercantum dalam definisi mediator. Pasal 1 ayat (5) menyatakan :”Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa”. Menurut hemat penulis, upaya perdamaian yang telah dicanangkan sejak Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002, kemudian diganti dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perlu segera ditindaklanjuti dengan mempedomani PERMA tersebut, dan ketentuan keharusan menunggu adanya pensertifikatan, justru menghambat pelaksanaan mediasi, perlu adanya terobosan bagi Pengadilan guna mengatasi hambatan tersebut, dengan berpatokan kepada definisi mediator tersebut diatas.
Adapun beberapa prinsip dari lembaga mediasi, adalah:
1. Pada prinsipnya mediasi bersifat sukarela
Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan demikian tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara mediasi.
Dalam hukum di Indonesia, praktek mediasi pada umumnya juga didasarkan pada pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam konteks sengketa konsumen pengguna mediasi bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.

2. Lingkup sengketa pada prinsipnya bersifat keperdataan
Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah sengketa keperdataan. Pasal 30 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Demikian pula pada pasal 75 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana dirubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 mengatakan penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU kehutanan tersebut. UU No. 30 Tahun 1999 meskipun tidak tegas seperti kedua UU terdahulu, namun dari ketentuan pasal 5 ayat (1) berbunyi: “sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang bersengketa”, dapat dipahami bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa perdagangan dan sengketa hak yang bersifat keperdataan saja.

3. Proses sederhana
Sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan pada pihak untuk menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka inginkan. Dengan cara ini, para pihak yang bersengketa tidak terperangkap dengan formalitas acara sebaimana dalam proses litigasi. Para pihak dapat menentukan cara-cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses beracara formal di Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai bertahun-tahun, jika kasus terus naik banding, kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding atau bentuk lainnya. Putusan bersifat final and binding yang artinya putusan tersebut bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilqh “final” berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Pengertian “mengikat” atau “Binding” adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subjek hukum. Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal teori res adjudicate pro veritare habetur, yang artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat para pihak yang bersengketa.
Sebagai konsekuensi cara yang lebih sederhana ini, maka mediasi sering dianggap lebih murah dan tidak banyak makan waktu jika dibandingkan dengan proses litigasi atau berperkara di Pengadilan.

4. Proses mediasi tetap menjaga kerahasiaan sengketa para pihak
Mediasi dilaksanakan secara tertutup sehingga tidak setiap orang dapat menghindari sessi-sessi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat kerahasiaan dari proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, Karena para pihak yang bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi dipublikasikan kepada umum.

5. Mediator bersifat menengahi
Dalam sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk menengahi para pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahamannya yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternative solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh kesepakatan para piha yang bersengketa. Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang harus dipatuhi.
Prinsip ini kemudian menuntut mediator adalah orang yang memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang bidang-bidang terkait yang dipersengketakan oleh para pihak.
Bila diperhatikan berbagai macam cara untuk penyelesaian sengketa memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, misalnya pencapaian consensus bersama yang terjadi dalam Hukum Adat Indonesia, di samping menyelesaikan sengketa tertentu, juga membantu membangun dan melindungi komunitas, tetapi kadang kala yang muncul dalam upaya untuk memperoleh kesepakatan hanya berupa bentuk pemaksaan yang terselubung, yaitu para pihak yang bersengketa dipaksa menyetujui demi kepentingan pihak komunitas. Pada beberapa kasus seperti ini, kebutuhan dan kepentingan pihak yang bersengketa mungkin tidak terpenuhi sama sekali. Hal ini tentunya merugikan pihak yang bersengketa.

Tugas mediator telah diatur di dalam Bab III PERMA Nomor 2 Tahun 2003, ada beberapa hal yang tidak diatur di daalam PERMA. Menurut hemat penulis perlu ditempuh oleh para mediator, yaitu antara lain:
Tugas pertama seorang mediator: adalah memberikan nasehat dan mengarahkan para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai, setelah selesai memberikannasehat atau pengarahan, kemudian pihak tergugat dipersilahkan menunggu di luar ruangan dan mediator melanjutkan dengan memberikan kesempatan kepada pihak penggugat atau kuasanya mengungkapkan sejelas-jelasnya permasalahan yang menjadi sengketa sejak awal hingga keadaan yang sekarang, kemudian mediator memberikan pandangannya bagaimana sebaiknya mengatasi permasalahan tersebut sehingga pihak penggugat tidak dirugikan dan pihak tergugat juga diberi kemudahan-kemudahan memenuhi tuntutan tersebut. Kemudian penggugat disuruh menunggu di luar dan tergugat atau kuasanya dipanggil masuk, mediator mempersilahkan tergugat memberikan keterangannya sehubungan dengan adanya tuntutan pihak penggugat. Bila ada hal-hal yang janggal atau kurang jelas keterangan tergugat mediator mengajukan pertanyaan- pertanyaan atau minta kejelasan dari tergugat tentang hal-hal yang belum ditanggapi oleh tergugat, setelah selesai, mediator menawarkan beberapa solusi agar sengketa tersebut dapat selesai secara damai.
Tugas kedua seorang mediator: adalah memanggil kedua belah pihak memasuki ruang mediasi, mediator mempersilahkan pihak penggugat atau kuasanya mengajukan poin-poin tuntutannya dan bila ada solusi damai yang ditawarkannya hendaknya diajukan secara tertulis, bila ada hal yang dianggap mediator belum konkrit, mediator meminta agar penggugat mengulangi dan menjelaskan hal tersebut. Selanjutnya agar tergugat memberikan tanggapannya serta solusi damai yang ditawarkannya secara tertulis, dan mediator meminta kejelasan hal-hal yang dianggap kurang jelas.
Tugas ketiga seorang mediator: adalah mengelompokkan bagian-bagian yang telah disepakati, bila semua bagian telah disepakati berarti mediator berhasil mendamaikan para pihak, bila masih ada bagian yang belum disepakati maka pertemuan dilanjutkan pada hari dan tanggal yang telah disepakati bersama, dan mediator mengingatkan kepada para pihak untuk berfikir kembali dan mengajukan tawaran jalan keluar atas hal-hal yang belum disepakati tersebut secara tertulis dan diajukan kepada mediator pada hari dan tanggal yang telah disepakati tersebut.

MAKNA PENTINGNYA MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya penyelesaian suatu perkara demikian sulit, rumit dan berbelit-belit, demikianlah kira – kira pendapat sebagian orang sehingga muncul wacana bahwa upaya yang telah dilakukan untuk sedapat mungkin menyelesaikan sengketa tanpa melalui proses ligitasi, sebagai contoh dalam menghadapi suatu sengketa para pihak yang berperkara khususnya piak Penggugat sebagai pihak yang berinisiatif berperkara untuk sedapat mungkin mengakhiri sengketa dengan jalur perdamaian. Karena bagaimanapun juga penyelesaian perkara dengan jalur perdamaian senantiasa akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Begitupun halnya keuntungan dari segi biaya, tentunya biaya yang akan dikeluarkan akan lebih murah, karena tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak dan yang lebih penting lagi perdamaian akan mampu memulihkan hubungan baik diantara pihak yang berperkara, lebih-lebih bila mana para pihak yang berperkara tersebut adalah mereka yang nota bene sesama mitra usaha yang memerlukan suasana hubungan yang bersifat kolegalitas, bisa dibanyangkan apabila muncul persoalan diantara mereka kemudian diselesaikan melalui proses persidangan yang pada akhirnya berakibat pada dua kubu menang dan kalah. Hal ini tentunya akan berakibat pada pecahnya hubungan yang bersifat kolegalitas diantara mereka. Demikian pula halnya hubungan baik antara keluarga akan menjadi renggang bahkan putus, manakala mereka dalam menyelesaikan suatu sengketa misalnya adanya perebutan harta warisan dan lain-lain. Untuk mencegah agar jangan sampai hubungan keluarga menjadi berantakan hanya karena memperebutkan suatu hak seperti yang disebutkan dalam contoh diatas, maka penyelesaian secara damai jauh lebih bermanfaat dibandingkan sebaliknya.
Pentingnya mediasi dalam konteks ini dimaknai bukan sekedar upaya untuk meminimalisir perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan baik itu pada Pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, sehingga badan peradilan dimaksud terhindar dari adanya timbunan perkara, namun lebih dari itu Mediasi dipahami dan diterjemahkan dalam proses penyelesaian sengketa secara menyeluruh dengan penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu sengketa yang tengah berlangsung.
Walaupun dalam kenyataannya setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri sebagian besar tidak dapat didamaikan lagi dengan upaya perundingan, namun itu bukan berarti upaya ini kita matikan sama sekali, akan tetapi justru itu yang menjadi tantangan bagi mediator khususnya hakim untuk bisa memainkan perannya sebagai mediator yang ulung dengan menerapkan kemampuan dan kemahirannya secara maksimal.
Oleh karena itu Mediasi hendaknya dijadikan sebagai lembaga pertama dan terakhir dalam menyelesaikan sengketa antara para pencari keadilan, karena penyelesaian sengketa melalui proses litigasi banyak yang tidak berakhir manis, fenomena yang tak jarang kita temukan bisa menjadi suatu gambaran betapa nestapa yang sering mengiringi para pihak yang berperkara, di satu sisi bagi pihak yang menang ia mengeluarkan biaya yang tinggi terkadang tidak sesuai dengan nilai ekonomis barang yang diperebutkan dan di sisi lain bagi pihak yang kalah sering tidak dapat menerima kekalahan yang menyebabkan adanya tekanan psikologis dan timbulnya depresi yang akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk tindakan anarkis. Hal demikian tentulah bukan menjadi harapan kita, karena konflik yang terjadi antar individu bisa memicu konflik yang lebih luas, seperti antar kelompok, dampak buruk dari hal itupun tak ayal dapat terhindar, putusnya jalinan silaturrahmi hubungan persaudaraan, kerugian moril dan materiil adalah contoh akibat negative dari persoalan di atas. Untuk itu, upaya preventif dalam setiap upaya penyelesaian persoalan harus dikedepankan, mencegah penyebab konflik berarti mencegah adanya kemudaratan.
Prinsipnya suatu peraturan dibuat adalah untuk dijalankan, demikian juga halnya dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Islam adalah agama damai, yang berperkara di Pengadilan adalah Agama adalah orang-orang yang beragama Islam dan masih dalam ikatan keluarga, peluang untuk dapat didamaikan lebih besar dibandingkan dengan perkara-perkara pada Peradilan Umum, oleh karenanya upaya mendamaikan secara sungguh-sungguh sangat diharapkan, sekalipun menurut tehnik dan cara tersendiri di luar PERMA tersebut, hal ini Pengadilan Agama dapat dikecualikan, karena ada kekhususan, khusus menangani orang-orang Islam (orang-orang yang cinta damai), dan khusus sengketa dalam keluarga (family law).

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA


Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama
A.1. Asas Umum Lembaga Peradilan Agama
1) Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia.
Pada dasarnya azas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 ini menyebutkan “Kekuasaan kehakiman yang medeka ini mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang.”
2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3) Asas Ketuhanan
Peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4) Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.
Cepat yang dimaksud adalah dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventaris persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persolan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali majelis hakim harus secepatnya mangambil putusan untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.
Biaya ringan yang dimaksud adalah harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam berperkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan.
5) Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun 1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud akan dipidana.
6) Asas Legalitas
Peradilan agama mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Pada asasnya Pengadilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.

A.2. Asas Khusus Kewenangan Peradilan Agama
1) Asas Personalitas Ke-islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama.
Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang asas personalitas ke-islaman adalah :
a) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam.
b) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c) Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Sehingga apabila seseorang melangsungkan perkawinan secara Islam, apabila terjadi sengketa perkawinan, perkaranya tetap menjadi kewenangan absolute peradilan agama, walaupun salah satu pihak tidak beragam Islam lagi (murtad), baik dari pihak suami atau isteri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada saat perkawinan tersebut dilangsungkan, artinya, setiap penyelesaian sengketa perceraian ditentukan berdasar hubungan hukum pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasar agama yang dianut pada saat terjadinya sengketa.
Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke-Islaman. Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan dan surat keterangan lain. Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum, kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua, hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
2) Asas Ishlah (Upaya perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.
3) Asas Terbuka Untuk Umum
Asas terbuka untuk umum diatur dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4) UU No. 4 Tahun 2004.
Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan dengan siding tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama yang harus dilakukan dengan siding tertutup adalah berkenaan dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan atau cerai gugat (pasal 68 (2) UU No. 7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama).
4) Asas Equality
Setiap orang yang berperkara dimuka sidang pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi normative maupun diskriminasi kategoris. Adapun patokan yang fundamental dalam upaya menerapkan asas “equality” pada setiap penyelesaian perkara dipersidangan adalah :
a. Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau “equal before the law”.
b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”
c. Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau “equal justice under the law”.
5) Asas “Aktif” memberi bantuan
Terlepas dari perkembangan praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6) Asas Upaya Hukum Banding
Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali Undang-undang menentukan lain.
7) Asas Upaya Hukum Kasasi
Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi)
Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

PERADILAN AGAMA DARI MASA KE MASA

. 1. Awal Berdirinya Peradilan AgamaPada masa VOC berdomisili di bumi nusantara hukum Islam tetap berlaku, dimana masyarakat bangsa Indonesia masih diberikan suatu kebebasan dalam melaksanakan hukum Islam dengan seluas-luasnya selama tidak dianggap mengganggu kepentingan-kepentingan VOC di Indonesia. Bangsa penjajah VOC pernah akan memberlakukan hukum Belanda di Indonesia guna memperlancar hubungan mereka dalam perniagaan dengan Negara-negara lain, kemudian gagal total karena mendapat reaksi sangat keras dari kelompok masyarakat umat Islam, kejadian tersebut menjadikan rasa enggan mereka untuk ikut campur terhadap hukum Islam, bahkan VOC kemudian menjadi alternative lain, yaitu dengan membentuk peradilan untuk banga pribumi dengan cara memberlakukan hukum Islam di setiap peradilan orang-orang pribumi dan mengumpulkan materi-materi sebagai hukum Islam. Hal tersebut kemudian tertuang dalam sebuah resolusi (der indische regering)(Topik Utama Unisia, 1992: 7).
Peraturan resmi yang mengatur eksistensi Peradilan Agama di Bumi Nusantara ini adalah Keputusan Raja Belanda No. 24 tertanggal 19 Januari 1882, dimuat dalam Stb. 1882 No. 152 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Berpaling betrefende de priesterranden op java en Madoera). Para pakar hukum sependapat, bahwa lahirnya keputusan Raja tersebut adalah merupakan hasil dari teori “Receptio in Complexu” oleh Van Den Berg.
Kemudian teori itu digugat oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje, dan menggantikannya dengan teori “Receptie”, menurut keduanya teori Receptio in Complexu adalah merupakan suatu kesalahan besar pemerintah Hindia Belanda. Pengadilan Agama diberi keluasaan memberlakukan hokum Islam secara keseluruhannya adalah keliru. Yang benar adalah Hukum Islam baru dapat diterima apabila telah diakui oleh Hukum Adat mereka.
Penyebaran agama Islam dengan perantara para Da’I (Ulama), kemudian mendapat sambutan dengan baik dan senang hati di kalangan masyarakat yang memungkinkan berkembangnya Agama Islam dengan pesat sekali sampai ke pelosok bumi nusantara dan kemudian memperoleh bentuk-bentuk yang sangat positif di tengeh-tengah masyarakat Islam tersebut. Sebuah peradilan yang merupakan alat kelengkapan bagi umat Islam dalam melaksanakan Hukum Islam, Peradilan Agama Islam dikhususkan bagi masyarakat yang beragama Islam di Indonesia, sebagai alat kelengkapan pelaksanaan Hukum Islam itu sendiri.
Maka Peradilan Agama ini tumbuh dan berkembang di bumi nusantara yang kemudian disambut dengan senang dan baik oleh masyarakat penduduk Indonesia. Walaupun disadari sepenuhnya bahwa Peradilan Agama khususnya dan Ilmu Pengetahuan Hukum Islam pada umumnya belum pernah berkembang secara menyolok di Indonesia apabila dibandingkan dengan Negara-negara yang lainnya terutama sekali yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun demikian konsepsi-konsepsi Hukum Islam telah menyumbangkan suatu potensi pemikiran yang sangat baik bagi perkembangan dan pembinaan Hukum Islam.Seorang orientalis berkebangsaan Belanda yamg bernama Snouck Hurgronje, kemudian mengkritik dengan menyatakan bahwa sebenarnya para pejabat colonial Belanda masih sangat kurang sekali akan pengertiannya tentang Agama Islam di Indonesia dan keberadaannya. Dengan kedatangan Snouck Hurgronje tersebut membawa akibat yang tidak diinginkan oleh masyarakat yang beragama Islam khususnya, dampak yang terlihat antara lain adalah kehidupan beragama yang di dalamnya termasuk lembaga-lembaga pendidikan, lembaga peradilan, dan lain-lain.Lembaga-lembaga keagamaan (peradilan) tidak dapat bergerak secara leluasa disebabkan di dalamnya telah dicampuri oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1882 Lembaga Peradilan Agama oleh pemerintah Hindia Belanda diresmikan (Bahder Johan Nasution, 1992: 2-3).Maka proses pembentukan suatu Lembaga Peradilan sendiri menurut hukum ditentukan yang pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
Tahap tauliyah dari Imam, yaitu pada dasarnya peradilan atas perlimpahan dari wewenang kepala Negara atau orang-orang yang ditugaskan olehnya, dengan catatan orang tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu.
Tahap kedua adalah tauliyah oleh Ahlul Hilmi Wal ‘Aqdi apabila tidak ada seorang Imam, maka penyerahan suatu wewenang untuk pelaksanaan peradilan dapat dilakukan oleh Ahlul Hilmi Wal ‘Aqdi, adalah [para sesepuh dan ninik mamak dengan adanya suatu kesepakatan bersama.
Tahap Tahkim, dalam keadaan tertentu terutama sekali apabila tidak ada Hakim di suatu wilayah tertentu pula, maka apabila dua orang yang bersengketa dapat bertahkim kepada seseorang yang dianggap telah memenuhi suatu persyaratan. Tahkim dapat berlaku apabila kedua pihak terlebih dahulu sepakat untuk menerima dan menyepakati (mentaati) keputusannya nanti dan juga tidak boleh menyangkut pelaksanaan pidana, seperti had dan ta’zir (Ditbinbapera Depag, 1985: 7-8).
Bahwa terjadinya qodlo Asy-Syar’I di Indonesia sudah terjadi pada masa-masa periode Tahkim yaitu pada awal masuknya Islam ke bumi nusantara ini dimana kondisi masyarakat belum mengetahui banyak masalah-masalah hokum Islam, sedangkan Lembag Peradilan Agama terbentuk dalam periode Tauliyah Ahlul Halli Wal’Aqdi. Keadaan yang demikian ini nampak pada masa kerajaan Islam di nuantara dengan bentuk-bentuk lembaga peradilan yang memberlakukan Hukum Islam yang pelaksanaannya di serambi-serambi masjid oleh hakim-hakim yang menjalankan Hukum Islam terhadap perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan. Sehingga pada saat itu penampungan perkara perdata sudah ada tempatnya yang menentu dan pasti (Ditbinbapera Depag, 1985: 8).Peradilan dan lembaga peradilan pada masa itu masih sangat sederhana, demikian juga para pegawainya biasanya diangkat oleh para pejabat setempat. Pengadilan Agama yang diselenggarakan oleh para pejabat (penghulu) yaitu pejabat administrasi kemasjidan setempat dan begitu pula dengan siding-sidang yang berlangsung di serambi masjid (Daniel S. Lev, 1980: 23-32).
Sejak pada pengadilan serambi masjid tersebut belum ada, muncul pengadilan yang secara resmi menangani urusan perdata, pengadilan lain belum ada yang muncul yang menangani dan melayani rakyat di Jawa. Baru kemudian Pengadilan Agama berada dan muncul di bawah pengadilan colonial yaitu “landraad”. Hanya landraat inilah yang berwenanguntuk memerintahkan suatu pelaksanaanbagi keputusan Pengadilan Agama dalam bentuk “Executoir Verklaring”.
Di sini Pengadilan Agama, sangat terbatas kewenangannya terutama hak menyita barang milik yang berperkara tersebut tidak ada (hak menyita barang atau lainnya di sini hilang). Padahal Pengadilan Agama merupakan salah satu pengadilan bagi golongan orang Jawa di dalam salah satu bidang hokum perorangan (Ahmad Azhar Basyir, 1992: 9-11).Fakta dari suatu badan lembaga-lembaga hokum tersebut sudah ada dalam pelbagai bentuk dan kualitasnya, yang berada di bawah tekanan-tekanan suatu proses adaptasi. Kemudian ternyata banyak orang yang ingin menghindarkan diri dari landraad dan tetap menginginkan dan menggunakan lembaga Peradilan Agama, yang mana rakyat sudah menganggap sebagai lembaga yang sah dan dapat diterima (Ahamad Azhar Basyir, 1992: 11).Setelah masa proklamasi kemerdekaan Indonesia dan berdasarkan pada pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur keberadaan (eksistensi) Peradilan Agama tersebut tetap berlaku. Kemudian langkah yang diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia sepanjang yang menyangkut tentang keagamaan, dibentuklah Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946. Dan setelah terbentuknya Departemen Agama, maka segala perkara yang berkaitan dengan urusan keagamaan diserahkan dari Departemen Kehakiman ke Departemen Agama, karena hal itu memang menjadi hak dan wewenang departemen ini.Perkembangan selanjutnya Menteri Agama yang menetapkan tentang formasi pegawai pada Pengadilan Agama terpisah dari Kantor Urusan Agama (KUA) tingkat kabupaten, yang kemudian pada akhirnya muncul dengan istilah Pengadilan Agama (Bahder Johan Nasution, 1992: 4-6).Kemudian secara perlahan bangsa Indonesia sadar untuk menghilangkan dan membuang jauh politik colonial Belanda, hal tersebut diperlihatkan oleh suatu tonggak sejarah, yaitu:
Pada tahun 1951, dengan Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, LN 1951-9, yang kemudian dikuatkan menjadi Undang-undang N0.1 Tahun 1961, LN 1961-3, Peradilan Agama diakui eksistensi dan peranannya.
Pada tahun 1957, dengan PP No.45 tahun 1957, LN 1957-99, yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang No.1 Tahun 1951, didirikan atau dibentuk Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura.
Pada tahun 1964, dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1964, LN 1964-107, yang kemudian digantikan dengan Undang-undang No.14 Tahun 1970-74, Peradilan Agama diakui sebagai salah satu dari empat lingkungan Peradilan Negara yang sah.
Pada tahun 1974 terbit Undang-undang No.1 Tahun 1974, LN 1975-12, dimana segala jenis pwerkara dibidang perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dipercayakan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikannya.
Pada tahun 1977 terbit PP No. 28 Tahun 1977, LN 1977-38 yang memberikan kekuasaan kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara, bidang perwakafan Tanah Milik (Roihan A Rasyid, 1991: 1-3).
Para pakar hukum dan sejarah telah sepakat bahwa Peradilan Agama keberadaannya di Indonesia secara yuridis diakui sebagai lembaga Peradilan dan masuk dalam tata hokum Hindia Belanda dengan dikeluarkannya surat keputusan Raja Belanda No.24 tertanggal 19 Januari 1882, dengan Staatsblaad 1882 No. 152 yakni tentang pembentukan Peradilan Agama di daerah Jawa dan Madura dalam bahasa Belanda “bepalingbetraffenda priesterande op Java en Madura”. Kemudian mulai saat inilah Peradilan Agama di Indonesia terus diperhatikan dan diikuti terus akan perkembangannya oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan hingga Indonesia merdeka terus diupayakan birokrasi-birokrasi terhadap Peradilan Agama di Indonesia. Perbedaan penapat tentang penetapan awal sejarah Peradilan Agama ini, oleh Daniel S. Lev dinilai bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya situasi para cendikiawan muslim dan kaum cerdik pandai menganggap remeh terhadap sejarah Islam, karena dianggap sebagai sisa-sisa masa lalu. Akibatnya Peradilan Agama yang memiliki sejarah yang cukup panjang terlewatkan oleh ilmu pengetahuan, penelitian terhadap Peradilan Agama di masa lalu ada sedikit yang terlewatkan (Daniel S. Lev, 1980: 11).Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke VII Masehi atau abad pertama hijriyah, hokum Islam berkembang bersama-sama dengan Hukum adat dengan erat sehingga satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena saling kait mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda yang berkembang kemudian adalah, adanya isu tentang terjadinya konflik antara hokum Islam dengan hokum adapt yang pada intinya konflik ini dengan sengaja dibesar-besarkan oleh para ahli hokum adat di Indonesia, seperti: B. Ter Haar, Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje (Mohammad Daud Ali, 1990: 204).Keadaan yang demikian ini memberikan sesuatu kesan pada para sarjana dan ahli hukum adat, seolah-olah hukum Islam atau Peradilan Agama di Indonesia merupakan bentuk Peradilan yang pada intinya tidak dapat diterima oleh adat dan masyarakat Indonesia dan tidak bias menerima pluralisme hukum (Ditbinbapera, 1985: 3).Sejarah perkembangan Peradilan Agama sejak zaman penjajahan colonial Belanda hingga sekarangdan tugas serta wewenangnya yang mengalami pasang surut, perkembangan Peradilan Agama mulai diperhatikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1808 dengan dikeluarkan instruksi dari VOC di mana kepada pendeta (Ulama) diperbolehkan memutus suatu perkara-perkara tertentu, yaitu: Perkawinan, Waris, Perceraian, Pembagian Harta Warisan berdasarkan hukum agama (Islam). Secara yuridis Peradilan Agama diakui oleh pemerintah Hindia Belanda dengan dikeluarkannya sebuah surat keputusan No. 24 tanggal 19 Januari Stb. 1882 No. 152 (Zaini Ahmad Noeh, dan Abdul Basit Adnan, 1983: 32-33).Ada 7 (tujuh) buah pasal Stb. 1882 No. 152 tersebut yang menyangkut Peradilan Agama antara lain:
Di samping tiap-tiap landraad (Pengadilan Negeri) diadakan Peradilan Agama, yang mempunyai daerah hukum yang sama;
Pengadilan Agama terdiri atas penghulu yang diperbantukan pada landraad sebagai ketua dan sedikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 8 (delapan) ulama Islam sebagai anggota;
Pengadilan Agama tidak boleh mengambil keputusan jika tidak ada sedikitnya 3 (tiga) orang anggota, termasuk ketuanya hadir, dalam keadaan perimbangan suara, maka ketua yang menentukan;
Keputusan-keputusan Pengadilan Agama harus dinyatakan dalam surat yang memuat pertimbangan-pertimbangan dan alas an secara singkat serta ditandatangani oleh anggota-anggota yang hadir, begitu pula dicatat biaya perkara yang dibebankan kepada yang berperkara
Kepada kedua belah pihak yang berperkara harus diberikan salinan surat keputusan yang ditandatangani oleh ketua;
Keputusan-keputusan Pengadilan Agama yang melampaui batas kekuasaannya atau tidak memenuhi ketentuan ayat (2), (3), dan (4) di atas tidak dapat dinyatakan berlaku (Zaini Ahmad Noeh, dan Abdul Basit Adnan, 1983: 33).
Terhadap Stb. 1882 No. 152 ahli hukum bersepakat bahwa hal tersebut merupakan hasil tersebut merupakan hasil dari teori “Receptio In Complexu” oleh Van Den Berg. Keberadaan Peradilan Agama mulai digugat ketika lahirnya teori hukum adat oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje yang kemudian teori tersebut dikenal dengan sebutan “Receptietheori”, akibat dari teori tersebut kemudian pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali Peradilan Agama di Indonesia. Stb. 1882 No. 152 dinyatakan sebagai suatu kesalahan dari pemerintah Hindia Belanda yang mengakui dan bahkan diberi landasan hukum bagi terbentuknya Peradilan Agama.Stb. Tahun 1907 No. 204, Stb. 1919 yang mengandung inti di dalam kedua Stb. Tersebut adalah kata-kata “Memperlakukan Undang-undang Agama” kemudian diubah menjadi kata-kata yang lebih lazim “memperhatikan” (Noto Susanto, 1975: 5).Dan Stb. terakhir Tahun 1937 dengan dikeluarkannya Stb. 1937 No. 638 jo. 639 mengenai dibentuknya Peradilan Agama di Kalimantan.Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Hindia belanda sampai Indonesia merdeka masih tetap berlaku. Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut:
Staatsblad 1882 No. 152, yang menurut penetapan Raja Belanda untuk mengatur Peradilan Agama di Jawa dan Madura, penetapan ini telah diubah dan ditambah terutama dengan Staatsblad 1937 No. 116 dan Staatsblad 1937 No. 610.
Staatsblad 1937 No. 638, dan 639 yang memuat ordonasi untuk mengatur Peradilan Agama di sebagian di Kalimantan Selatan (Noto Susanto, 1975: 27).
Setelah Indonesia merdeka maka dasar yuridis Peradilan Agama dikuatkan dengan beberapa Undang-undang dan beberapa peraturan pemerintah disamping dasar hukum yang telah dikuatkan dan disebutkan. Perundang-undangan inilah yang kemudian menunjukkan keberadaan Peradilan Agama secara eksis di Indonesia, masing-masing adalah:
Perundang-undangan dan peraturan;
Dekrit Presiden.
Aturan Presiden No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945, segala bentuk badan-badan Negara masih berlaku selama belum ada perubahan dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Keputusan Pemerintah No. 1 Tahun 1946 tentang pembentukan Departemen Agama.
Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talaq, dan rujuk.
Undang-undang No. 22 Tahun 1952 peraturan tentang kemungkinan hilangnya surat putusan dan surat-suratpemeriksaan pengadilan.
Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1946.
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok-pokok kehakiman. Kemudian dari Undang-undang inilah para pakar hukum mengatakan bahwa Peradilan Agama keberadaannya semakin kuat karena telah masukdalam Tata Hukum di Indonesia.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Undang-undang No. 14 Tahun 1975 tentang mahkamah Agung.
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yaitu PP No. 27 Tahun 1960 tentang uang honorarium dan juru sumpah.
Ketetapan Pemerintah.
No. 1/1945 s/d Tahun 1946 tentang mengadakan Departemen Agama dan balai Pemuda yang menjadi Departemen Sosial.
No. 5/1945 s/d Tahun 1946 tentang Mahkamah Islam Tinggi bagian Kementrian Kehakiman dipindahkan ke Menteri Agama (Abdul Gani Abdullah, 1991: 9).
Peraturan Pemerintah.
No. 10 Tahun 1947 tentang sumpah jabatan Hakim, Jaksa, Panitera, dan Panitera Pengganti.
No. 19 Tahun 1947 menambah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1947.
No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk luar Jawa dan Madura, dan sebagian luar Kalimantan Selatan (Djamil Latif, 1983: 13).
No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.
No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
No. 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
No. 45 Tahun 1990 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983.
Keputusan Presiden
No. 18 Tahun 1977 tentang tunjangan jabatan Hakim pada Peradilan Agama.
No. 17 Tahun 1985 tentang Organisasi kepaniteraan atau Sekretariat Jendral Mahkamah Agung.
Peraturan Mahkamah Agung
No. 1 Tahun 1980 tentang peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
No. 1 Tahun 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung.
Keputusan BersamaKetua Mahkamah Agung RI, Menteri Agama RI, dan Menteri Kehakiman RI: KMA/010/SKB/II/1988 tentang tata cara bantuan tenaga Hakim untuk lingkungan Peradilan Agama dan latihan jabatan bagi Hakim serta Panitera Pengadilan Agama.
Keputusan Ketua Mahkamah AgungNo. KMA/013/SK/III/1988 tentang pola pembinaan dan pengendalian administrasi perkara Peradilan Agama.
Peraturan Menteri Agama RI.
No. 1 Tahun 1952 tentang Wali Hakim
No. 4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk Jawa dan Madura
No. 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
Penetapan Pemerintah
No. 5 Tahun 1952 tentang Pembentukan Kembali Peradilan Agama Bangil
No. 58 Tahun 1957 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Sumatra
No. 4 Tahun 1958 tentang Pembentukan kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Kalimantan
No. 5 Tahun 1958 tentang Pembentukan Kembali Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.
No. 25 Tahun 1958 tentang Pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ah di Tanjung Karang untuk daerah Lampung Utara dan Kota Bumi.
Keputusan Menteri Agama RI
No. 23 Tahun 1966 tentang pembentukan kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah (Sumatra, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Maluku).
No. 61 Tahun 1961 tentang pembentukan cabang kantor Peradilan Agama cabang Jawa dan Madura.
No. 62 Tahun 1961 tentang pembentukan cabang kantor Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk Aceh dan Padang.
No. 85 Tahun 1961 tentang Pengakuan Badan Penasehat Perkawinan Penyelesaian Perceraian (BP4)
No. B/IV/2/5593/1966 tentang peleburan badan Hakim syara’pada dewan Adat Maluku, Ternate kedalam Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah
No. 87 Tahun 1966 tentang Penambahan Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah tingkat II Sulawesi dan Maluku.
No. 4 Tahun 1967 tentang perubahan kantor-kantor Peradilan Agama untuk daerah khusus Jakarta (Abdul Gani Abdullah, 1991: 11).

Pengertian Peradilan dan Pengadilan

(Lanjutan : Peradilan Agama dari Masa ke Masa)

Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan pengertian yang berbeda, perbedaannya adalah :
1. Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.
2. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam bahasa Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang memiliki pengertian:
a. Proses mengadili.
b. Upaya untuk mencari keadilan.
c. Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan.
d. Berdasar hukum yang berlaku.

C. 3. Pembaharuan Lembaga Peradilan
Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruakdalam penerapan system peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan amandemen UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kemudian UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (2) menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.

Ke-empat lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun strata ke-empat lembaga tersebut adalah :
a. Lingkungan peradilan umum terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.
b. Lingkungan peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI. Adapun Pengadilan Agama yang ada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasar Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah, seadangkan Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
c. Lingkungan Peradilan militer terdiri dari Mahkamah Militer sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.
d. Lingkungan peradilan tata usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

Adapun kewenangan absolut Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah Syar’iyyah Provinsi adalah kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Kewenangan lain tersebut dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka system peradilan nasional. Mengenai kewenangan relatif Mahkamah Syar’iyyah adalah daerah hukum eks Pengadilan Agama yang bersangkutan, sedangkan kewenangan relatif Mahkamah Syar’iyyah Provinsi adalah daerah hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh.

Hukum acara

(Lanjutan : Pengertian Peradilan dan Pengadilan)
D. 1. Bentuk Surat Gugatan / Permohonan

Gugatan (permohonan) harus diajukan dengan surat gugatan (permohonan), yang ditandatangani oleh penggugat (pemohon) atau wakilnya. Karena gugatan harus diajukan dengan surat gugatan (permohonan), maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan mengajukan gugatan (permohonan)secara lisan kepada ketua pengadilan apa dan dimana yang berwenang mengadili untuk dibuatkan surat gugatan (permohonan), di samping itu ketua pengadilan tersebut berwenang memberikan bantuan petunjuk seperlunya kepada penggugat (pemohon) atau kuasanya tentang cara-cara mengajukan surat gugatan (permohonan).
Ada dua bentuk teori gugatan (permohonan), yaitu “subtantie theorie” dan “Individualisering theorie”.
1. Substantie Theorie
Menurut teori substansi, penggugat (pemohon) harus mengemukakan dalam surat gugatannya (permohonan) bukan hanya peristiwa hukumnya saja, akan tetapi sekaligus mengemukakan kenyataan-kenyataan yang menimbulkan terjadinya peristiwa-peristiwa hukum. Misal penggugat (pemohon) ingin menuntut barangnya yang dikuasai oleh tergugat, supaya dikembalikan kepadanya. Maka tidak cukup hanya dengan mengemukakan alasan-alasan bahwa barang itu (yang digugat) adalah miliknya, akan tetapi harus menyebutkan juga mengenai asal usul barang warisan bukan harta bersama dan lain-lain.
2. Individualisering theorie
Menurut teori ini bahan-bahan kenyataan itu asal dikemukakan begitu rupa, sehingga tidak merugikan orang lain, artinya tidak perlu mengemukakan asal usul pemilikan atas barang itu, dan teori ini dianut oleh system peradilan di Indonesia pada umumnya.
Hukum acara yang berlaku pada peradilan-peradilan di Indonesia menganut system “formalistis”, artinya jika dalam surat gugatan (permohonan) terdapat sedikit saja kesalahan, maka dapat menyebabkan kekalahan bagi penggugat (pemohon), untuk itulah HIR mengatur apabila terdapat kekurang jelasan dalam surat gugatan (permohonan), penggugat diminta untuk menjelaskan maksudnya di muka persidangan.
Macam-macam gugatan (vordering) itu antara lain :
a. Tuntutan Perorangan (personlijk) obyeknya adalah tuntutan pemenuhan ikatan karena persetujuan dan karena undang-undang.
b. Tuntutan Kebendaan (zakelijk) yaitu suatu penuntutan penyerahan suatu barang sebagai obyek dari pada hak benda atau pengakuan hak benda.
c. Tuntutan Campuran (gabungan antara personlijk dan zakelijk) adalah campuran dari tuntutan perorangan dengan kebendaan, penggolongan tersebut dapat dilihat dalam dictum (bagian terakhir dari suatu putusan dan merupakan kalimat di bawah mengadili).
Gabungan (commulatie) dari beberapa gugatan (samenvoeging) dapat dibedakan antara commulatie subyektif dan commulatie obyektif;
a. Commulatie Subyektif, dalam suatu perkara perdata seorang penggugat melawan beberapa orang tergugat atau sebaliknya, yakni beberapa orang penggugat melawan seorang tergugat, contoh gugatan perkara kewarisan, para ahli waris adalah merupakan commulatie subyektif (subyeknya banyak).
b. Commulatie Obyektif, ialah gugatan yang diajukan kepada seseorang dalam satu perkara yang berisi beberapa tuntutan, sebagai contoh gugatan perceraian, yang di dalamnya terdapat pertama tuntutan perceraian, kedua tuntutan harta bersama, ketiga tuntutan penguasaan anak dan sebagainya. Jadi dalam commulatie obyektif, obyek tuntutannya banyak.

Surat gugatan harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya, yang dimaksud wakil dalam hal ini adalah seorang kuasa, yakni seorang yang dengan sengaja telah menguasakan perkaranya kepada seseorang berdasar suatu surat kuasa khusus, untuk membuat dan menandatangani surat gugatan (permohonan). Karena surat gugatan ditandatangani oleh yang diberi kuasa, maka tanggal surat gugatan (permohonan) harus lebih muda dari pada tanggal yang terdapat dalam surat kuasa.
Surat gugatan (permohonan) harus bertanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat dan tergugat, tempat tinggal mereka dan kalau perlu jabatan formal / informal penggugat dan tergugat, surat gugatan tertulis bagi yang mampu baca tulis, dan bagi yang buta aksara gugatan (permohonan) diajukan dengan cara lisan sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan di atas, dan surat gugatan (permohonan) ditulis di atas kertas yang dibubuhi materai.
Dalam pembahasan gugatan lisan dan tulisan ada hal-hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan masalah gugatan, sebab ketentuan Pasal 118 HIR / 142 RBG, gugatan harus diajukan dengan surat gugatan dan ditandatangani oleh Penggugat atau orang yang diberi kuasa untuk itu, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama dalam daerah hukum tempat tinggal tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka diajukan di tempat tergugat sebenarnya berdiam. Menurut hukum acara perdata peradilan agama, dalam hal cerai gugst ysng disjuksn oleh istri, maka gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat (istri).
Di daerah di mana berlaku RBg, maka surat kuasa (permohonan) harus dibuat di hadapan notaries (berupa akte otentik) atau di depan pengadilan atau di depan camat. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 1964 (tanggal 30 April 1964) bahwa surat kuasa dapat dibuat di bawah tangan, asalkan sidik jari (cap jempol) dari si pemberi kuasa disahkan (diligalisir) oleh ketua pengadilan / bupati dan juga boleh camat.
Mengenai orang yang diberi kuasa oleh penggugat maupun oleh tergugat, di samping dapat diberikan kepada advokat / pengacara / pengacara praktik, dapat pula kuasa diberikan kepada orang lain, misalnya dari kalangan keluarga yang tidak menjadikan hal itu sebagai pekerjaan atau mata pencaharian. Kuasa kepada orang lain dimaksud, memerlukan surat kuasa dan didaftarkan ke pengadilan dimana perkara itu akan diperiksa, untuk itu diberikan ijin khusus untuk satu perkara oleh pengadilan yang bersangkutan.
Dasar gugatan yang biasa disebut fundamentum petendi, ataupun posita gugatan, harus memuat secara jelas duduknya perkara maupun menurut alasan berdasar hukum, misalnya dari beberapa alas an perceraian sebagaimana yang disebutkan dalam UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), maka alas an yang mana di antara beberapa alas an itu yang dijadikan dasar gugatan.
Apabila masalah warisan, dapat disebutkan permintaan untuk membaginya menurut hukum Islam (faroid). Kemudian permohonan itu diakhiri dengan apa saja yang diminta untuk diputuskan secara terperinci, tentang mana yang diminta ditetapkan dan mana pula yang diminta untuk diperintahkan dan dihukum kepada tergugat. Bagian ini disebut sebagai “petitum gugatan” yang nantinya akan menjadi dictum atau amar dari putusan hakim, jika dikabulkan. Lazimnya permintaan yang paling akhir urutannya, dirumuskan dalam kata-kata “subsidair” mohon putusan lain yang dianggap adil, dengan adanya permohonan putusan “subsidair”, memungkinkan hakim memberikan putusan lain dari apa yang dimintakan diputus apabila hal-hal yang diminta secara tegas dan terperinci di atasnya tidak dapat dikabulkan hakim. Sebab ada larangan bagi hakim untuk memutus lebih dari apa yang dimintakan dan hanya wajib memutuskan semua bagian yang diminta pada petitum.
D. 2. Kemana Gugatan Diajukan
Ke mana gugatan / permohonan diajukan? Secara garis besar Pasal 118 HIR / 142 RBG secara lengkap mengatur hal tersebut, yakni:
1. Gugatan perdata dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri (Agama), harus diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat. Yang dimaksud dengan tempat tinggal menurut pasal 17 BW adalah tempat dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya. Hal ini dapat dilihat dari Kartu Tanda Penduduk.
2. Apabila tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukanpada Pengadilan Negeri (Agama) tempat kediaman tergugat. Hal ini dapat dilihat dari rumah tempat kediamannya.
3. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal slah seorang dari para tergugat, terserah pilihan dari tergugat, jadi penggugat yang menentukan dimana akan mengajukan gugatannya.
4. Apabila pihak tergugat ada dua orang, yaitu yang seorang misalnya adalah yang berhutang dan yang lain menjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri (Agama) pihak yang berhutang. Sehubungan dengan hal ini perlu dikemukakan, bahwa secara analogis dengan ketentuan tersebut, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat.
5. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman Tergugat tidak diketahui. Gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) tempat tinggal Penggugat, atau
6. Kalau gugatan itu tentang benda tidak bergerak, dapat juga diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) dimana barang tetap itu terletak dalam beberapa daerah hukum Pengadilan Negeri (Agama), maka gugatan diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri (Agama), menurut pilihan penggugat.
Ada beberapa pengecualian dari ketentuan HIR/RBG tersebut yang mengatur tentang kemana gugatan itu diajukan. Ketentuan pengecualian tersebut terdapat dalam BW, RV, dan UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974), yaitu:
1. Apabila dalah hal tergugat tidak cakap untuk menghadap di muka pengadilan, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Agama) orang tuanya, walinya atau pengempunya (Pasal 21 BW).
2. Yang menyangkut pegawai negeri, yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri (Agama) di daerah mana ia bekerja (Pasal 20 BW).
3. Buruh yang menginap di majikannya, yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri (Agama) tempat tinggal majikan (Pasal 22 BW).
4. Tentang hal kepailitan yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri yang menyatakan tergugat pailit (Pasal 99 ayat (15) RV).
5. Tentang penjamin (vrijwaring) yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri (Agama) yang pertama dimana pemeriksaan dilakukan (Pasal 99 ayat (14) RV). Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan HIR/RBG tersebur dimana gugatan diajukan kepada pihak yang berhutang.
6. Yang menyangkut permohonan pembatalan perkawinan, diajukan kepada Pengadilan Negeri (Agama) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri (Pasal 25 jo. 63 (1b) UU No. 1/1974 dan Pasal 38 (1 dan 2) PP. No. 9/1975.
7. Dalam tergugat bertempat tinggal di luar negeri, gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat dan Ketua Pengadilan Negeri (Agama) menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal40 j0. Pasal 63 (1b) UU No. 1/1974, Pasal 20 (2 dan 3) PP No. 9/1975).
Sistem hukum acara perdata peradilan di Indonesia, ada yang berlaku secara umum sebagaimana diuraikan di atas, dan ada juga yang berlaku secara khusus, yakni berlaku di lingkungan Peradilan Agama yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Pasal 66 UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama (pasal ini tidak mengalami perubahan dalam UU No. 3 Tahun 2006) mengatur masalah cerai talak yang diajukan oleh seorang suami terhadap istrinya :
1. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikan ikrar talak.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa ijin pemohon.
3. Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4. Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Pasal 73 UU No.7 Tahun 1989 yang tidak mengalami perubahan dalam UU No. 3 Tahun 2006 mengatur masalah cerai gugat yang dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya :
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa ijin tergugat.
2. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
3. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan Jakarta Pusat.

PIHAK DALAM PERKARA

(Lanjutan : Hukum Acara)
E. 1. Penggugat dan Tergugat
Disebut dengan penggugat adalah orang baik untuk dan atas namapribadi maupun atas nama suatu lembaga yang merasa haknya dilanggar. Sedang bagi orang yang ditarik ke muka muka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang / beberapa orang atau lembaga tersebut disebut tergugat. Manakala ada banyak pihak yang terlibat dalam suatu perkara baik penggugat meupun tergugat, para pihak tersebut disebut penggugat satu, penggugat dua dan seterusnya, demikian pula disebut tergugat satu, tergugat dua dan seterusnya.
Dalam praktik persidangan perkataan turut tergugat dipergunakan bagi orang-orang atau pihak-pihak yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu, hanya demi lengkapnya suatu gugatan harus diikutsertakan. Diikutsertakannya para pihak yang dirasa turut tergugat adalah orang atau lembaga yang menurut penggugat tidak menjadikannya sebagai sasaran utama, hanya berperan sebagai penguat apa yang menjadi sasaran utamanya. Istilah turut penggugat dalam suatu perkara di persidangan tidak pernah dijumpai, karena demikian itu tidak dikenal dalam hukum acara perdata, kalau sekiranya ada istilah turut penggugat sesungguhnya adalah berperan sebagai saksi yang diajukan oleh penggugat yang menurutnya dianggap mengetahui, dan pengetahuannya itu dianggap mendukung apa yang menjadi haknya. Turut tergugat bukan berarti tergugat atau penggugat akan tetapi demi lengkapnya pihak-pihak harus diikutsertakan sekedar untuk turut serta mentaati terhadap putusan pengadilan.
Memakai perkataan “merasa” / “dirasa”oleh karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat. Sebagai contoh dalam persoalan harta waris, seorang anak angkat almarhum A dan almarhum B yang bernama C, menggugat pamannya adik dari almarhum A yang benama D, oleh karena pamannya ini menguasai sebidang tanah bekas milik ayah almarhum A dan D, C sebagai penggugat merasa bahwa D melanggar haknya, akan tetapi oleh karena C adalah bukan sebagai ahli waris dari pada keluarga A dan B, dia hanya berstatussebagai anak angkat yang tidak adanya bagian waris baginya, maka si C tersebut disebut dengan orang yang tidak punya hak kedudukan hukum, sebab orang yang tidak punya hak atau kedudukan hukum atas sengketa yang diperkarakan, dengan demikian C adalah sebagai pihak penggugat yang tidak sah karena tindakannya sudah cacat formil terlebih dahulu dan berada dalam keadaan diskualifikasi in person dan seperti ini sesuai dengan asas tidak ada hak tidak ada putusan (vordering), sebab hak seseorang menuntut adalah terbatas sepanjang hak yang dimilikinya (nemo plus juris).
Dalam hukum acara perdata, inisiatif ada dan tidaknya suatu perkara harus diambil seseorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, ini berbeda dengan sifat Hukum Acara Pidana, yang pada umumnya tidak menggantungkan adanya perkara dari inisiatif orang yang dirugikan, misalnya apabila terjadi pembunuhan tanpa adanya suatu pengaduan, pihak berwajib harus bertindak. Oleh karena dalam Hukum Acara Perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh besar terhadap jalannya perkara, setelah perkara diajukan, penggugat dalam batas-batas tertentu dapat merubah atau mencabut kembali gugatannya.

E. 2. PEMOHON DAN TERMOHON
Permohonan pemohon adalah suatu permohonan yang didalamnya berisi suatu tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hak yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan-badan peradilan dalam mengadili suatu perkara permohonan (voluntair) bila dianggap sebagai suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Di lingkungan peradilan agama, sebagaimana yang dijelaskan dalam SE-MA No. 2 Tahun 1990, menyebutkan padaasasnya cerai talak adalah merupakan sengketa perkawinan antara kedua belah pihak, sehingga karenanya permohonan cerai talak merupakan perkara contentius dan bukan perkara voluntair, untuk itu produk hakim adalah perkara permohonan tersebut dibuat dalam bentuk kata putusan dengan amar dalam bentuk penetapan.
Pengadilan hanya berwenang menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang bersifat sengketa. Secara khusus peradilan agama dibenarkan untuk menangani perkara yang bukan atas dasar persengketaan nsmun bersifat permohonan kepada Pengadilan Agama, seperti perkara wali adlol (Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987), dispensasi nikah (UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 7 (2), ijin nikah (UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 (5) jo. Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 (2), dan ijin poligami (PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 40).
Prosedur pengajuan perkara wali adlol adalah dilakukan sebagaimana perkara biasa, dan tahapan-tahapan tingkat pemeriksaan perkara tersebut adalah dilakukan dengan tepat, cermat dan singkat oleh hakim yang menyidangkannya, hal ini dilakukan untuk ditemukan kebenaran fakta tentang adlolnya wali. Pemeriksaan singkat (kortgeding) diatur juga dalam pasal 283 RV (reglemen hukum acara perdata) yakni pemeriksaan secara singkat dimuka hakim mengenai perkara yang karena memerlukan penyelesaian cepat dan seketika itu juga menghendaki putusan yang segera.
Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 13 Oktober 1954, menyatakan tidak nampak suatu keharusan yang patut untuk memperlakukan peraturan pemeriksaan kilat (kortgeding), sebagai peraturan yang berlaku atau sebagai pedoman bagi peradilan, sehingga yang dimaksud dengan acara singkat dalam pasal 2 ayat (3) peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 adalah bahwa terhadap permohonan wali adlol diharapkan prosedur pemeriksaan di persidangan dapat dilaksanakan jauh lebih cepat.
Di samping wali adlol adalah perkara poligami, meskipun nampaknya ijin poligami itu menurut ketentuan perundang-undangan, merupakan perkara voluntair, tetapi dalam praktik selalu melibatkan kepentingan pihak lain, yaitu pihak isteri dan calon isteri. Sehingga Mahkamah Agung memberikan petunjukdalam hal permohonan ijin poligami tidak dapat dilakukan secara voluntair akan tetapi harus dalam bentuk gugatan yang bersifat contensius. Dengan demikian, ada kewenangan peradilan agama untuk menangani perkara-perkara voluntair sejauh yang telah ditentukan oleh undang-undang, untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan.
Perbedaannya dengan perkara gugatan murni adalah bahwa dalam perkara gugatanterdapat persengketaan yang harus mendapatkan penyelesaian melalui putusan pengadilan.Dalam perkara gugatan terdapat seorang atau lebih yang merasa haknya telah dilanggar, akan tetapi orang yang dirasa melanggar hak seseorang atau beberapa orang tersebut tidak mau secara suka rela melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan pengadilan. Diawali dengan pengajuan perkara oleh pihak yang merasa haknya dilanggar, dan dalam proses persidangan terdapat perselisihan dan persengketaan, bukan atas dasar kesepakatan rela sama rela, karena produk yang dikeluarkan oleh pengadilan dalam perkara contentiosa bukan lagi penetapan tapi dalam bentuk putusan.

isi gugatan/ perkara

(Lanjutan : PIHAK DALAM PERKARA)

Berkaitan dengan persyaratan isi gugatan tidak diatur dalam HIRmaupun RBg. Persyaratan mengenai isi gugatan ditemukan dalam pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat :
1. Identitas Para pihak, yang meliputi: Nama (beserta bin/binti dan aliasnya), umur, agama, pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “dahulu bertempat tinggal di….. tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia, dan kewarganegaraan (bila perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara itu harus disebut secara jelastentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai penggugat, tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon. Dalam praktik dikenal pihak yang disebut turut tergugat dimaksudkan untuk mau tunduk terhadap putusan pengadilan. Sedangkan istilah turut penggugat tidak dikenal. Untuk menentukan tergugat sepenuhnya menjadi otoritas penggugat sendiri.
2. Fundamentum Petendi (Posita), yaitu penjelsan tentang keadaan / peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat. Posita memuat dua bagian: (a) alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum, dan (b) alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam putusan nantinya.
3. Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum / tuntutan yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.

Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu: (a) tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut), (b) tuntutan tambahan, merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti dalam hal perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak, mut’ah, nafkah idah, dan pembagian harta bersama, dan (c) tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima majelis hakim. Biasanya kalimatnya adalah “agar majelis hakim mengadili menurut hukum yang seadil-adilnya “atau” mohon putusan yang seadil-adilnya” bias juga ditulis dengan kata-kata “ex aequo et bono”.

E. 4. Gugatan Lisan dan/atau Tertulis
Semua gugatan / permohonan harus dibuat secara tertulis, akan tetapi dimungkinkan bagi penggugat / pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan / permohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang. Kemudian Ketua Pengadilan yang berwenang tersebut memerintahkan kepada hakim untuk membuatkan surat permohonan / gugatan dengan cara mencatat dan memformulasikan segala sesuatu yang dikemukakan oleh peenggugat / pemohon dan membacakannya, kemudian surat gugatan / permohonan tersebut ditandatangani ketua/hakim yang membuatkannya itu, hal ini berdasar ketentuan Pasal 114 (1) R.Bg. atau Pasal 120 HIR. Sementara penggugat tidak tidak perlu tanda tangan atau membubuhkan cap jempolnya dan juga tidak usah diberi materai.
Dalam praktik proses pengajuan gugat secara lisan bagi buta huruf dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Gugatan disampaikan secara lisan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang.
2. Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan mencatat segala peristiwa yang disampaikan penggugat, kemudian diformulasikan dalam bentuk surat gugat.
3. Gugatan yang diformulasikan tersebut dibacakan untuk penggugat dan ditanyakan kepadanya tentang isi gugatan itu, apakah sudah cukup atau masih perlu ditambah, dikurangi atau diubah.
4. Gugatan yang dinyatakan cukup oleh penggugat, maka Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk tersebut untuk menandatanganinya.
Adapun gugatan atau permohonan yang dibuat secara tertulis, harus ditandatangani oleh penggugat / pemohon (Pasal 142 (1) R.Bg. / Pasal 118 (1) HIR). Apabila pemohon / penggugat telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan / permohonan harus ditandatangani oleh kuasa hukumnya tersebut (Pasal 147 (1) R.Bg. / Pasal 123 HIR).
Surat gugatan / permohonan dibuat rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk penggugat/ pemohon, satu rangkap untuk tergugat/ termohon atau menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya. Apabila surat gugatan/ permohonan hanya dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir oleh panitera.

MEKANISME PEMERIKSAAN PERKARA DALAM SIDANG

Lanjutan : ISI GUGATAN / PERMOHONAN)

Mekanisme pemeriksaan perkara perdata peradilan agama yang dilakukan di depan sidang pengadilan secara sistemik harus mulai babarapa tahap berikut ini, yakni:
Pertama, Melakukan perdamaian. Pada siding upaya perdamaian inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim, penggugat/ tergugat atau pemohon/ termohon. Hakim harus secara aktif dan sungguh-sungguh untuk mendamaikn para pihak. Apabila upaya damai tidak berhasil, maka siding dapat dilanjutkan pada tahapan berikutnya.
Kedua, Pembacaan surat gugatan. Pada tahap ini pihak penggugat / pemohon berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil gugat dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugat itulah yang menjadi acuan (obyek) pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang termuat dalam surat gugatan.
Ketiga, Jawaban tergugat / termohon. Pihak tergugat / termohon diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat / pemohon melalui majelis hakim dalam persidangan.
Keempat, Replik dari penggugat / pemohon. Penggugat / pemohon dapat menegaskan kembali gugatannya / permohonannya yang disangkal oleh tergugat / termohon dan juga mempertahankan diri atas serangan – serangan tergugat / termohon.
Kelima, Duplik dari tergugat / termohon. Tergugat / termohon menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat. Replik dan duplik dapat diulang-ulang sehingga hakim memandang cukup atas replik dan duplik tersebut.
Keenam, Tahap pembuktian. Penggugat / pemohon mengajukan semua alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugat. Demikian juga tergugat / termohon mengajukan alat-alat bukti untuk mendukung jawabannya (sanggahannya). Masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawan.
Ketujuh, Tahap kesimpulan. Masing-masing pihak baik penggugat / pemohon maupun tergugat / termohon mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan.
Kedelapan, Tahap putusan. Hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkannya dalam amar putusan, sebagai akhir persengketaan.
Beberapa kemungkinan pemeriksaan perkara di muka persidangan Pengadilan Agama, yakni:

A. Sidang Pertama
Pada siding pertama yang telah ditetapkan dan para pihak telah dipanggil secara resmi dan patut untuk hadir dalam persidangan pengadilan, dalam hal ini diketemukan beberapa kemungkinan dan solusinya, kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah :

1. Penggugat / pemohon tidak hadir, sedang tergugat / termohon hadir
Apabila penggugat/pemohon tidak hadir dalam siding, sedang tergugat/termohon hadir, maka hakim dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Menyatakan bahwa gugatan / permohonan dinyatakan gugur, atau
b. Menunda persidangan sekali lagi untuk memanggil penggugat / pemohon. Apabila penggugat / pemohon telah dipanggil sekali lagi namun tetap tidak hadir dalam persidangan, maka hakim dapat menetapkan bahwa gugatan dinyatakan gugur atau menunda lagi persidangan dengan memanggil lagi penggugat / pemohon dengan persetujuan tergugat / termohon. Hal ini diatur dalam Pasal 124 HIR / Pasal 148 R.Bg. Gugatan dinyatakan gugur apabila:
1. Penggugat telah dipanggil dengan patut dan resmi.
2. Penggugat tidak hadir dalam sidang dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya serta tidak ternyata bahwa ketidakhadirannya itu karena alasan yang syah.
3. Tergugat hadir dalam siding dan mohon putusan. Dalam hal ini, penggugat / pemohon dapat mengajukan lagi gugatan / permohonan baru dengan membayar lagi panjar biaya perkara, atau mengajukan banding. Apabila penggugat lebih dari seorang kemudian ada sebagian yang tidak hadir, maka tidak dapat digugurkan melainkan harus diperiksa seperti biasa, tetapi jika semua tidak hadir maka dapat diputus gugur.
2. Tergugat / termohon tidak hadir, sedang penggugat / pemohon hadir
Apabila dalam sidang pertama penggugat / pemohon hadir, sedangkan tergugat/termohon tidak hadir, maka hakim dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Menunda persidangan untuk memanggil tergugat / termohon sekali lagi, atau
b. Menjatuhkan putusan verstek, karena tergugat / termohon dinilai ta’azzuz atau tawari atau ghoib.

Apabila tergugat/termohon telah dipanggil kembali untuk yang kedua kalinya atau lebih dan tetap tidak hadir, maka dapat dijatuhkan putusan verstek. Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila:
1. Tergugat / termohon telah dipanggil dengan patut dan resmi.
2. Tergugat / termohon tidak hadir dalam siding dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya serta tidak ternyata bahwa ketidakhadirannya itu disebabkan oleh sesuatu halangan atau alasan yang syah.
3. Penggugat / pemohon hadir dalam persidangan dan mohon putusan (Pasal 125 HIR atau Pasal 149 R.Bg) Dalam hal terjadi demikian, maka hakim menasehati agar penggugat / pemohon mengurungkan / mencabut kembali gugatannya. Apabila tidak berhasil maka gugatannya dibacakan. Jika penggugat / pemohon tetap mempertahankan dan mohon dijatuhkan putusan, maka hakim akan mempertimbangkan gugatan tersebut dan kemudian menjatuhkan putusannya di luar hadir tergugat (verstek).
3. Tergugat / termohon tidak hadir tapi mengirim surat jawaban
Apabila tergugat / termohon tidak hadir, walaupun telah dipanggil dengan patut dan resmi, tetapi ia mengirimkan surat jawaban, maka surat itu tidak perlu diperhatikan dan dianggap tidak pernah ada, kecuali jika surat itu berisi perlawanan (eksepsi) bahwa Pengadilan Agama yang bersangkutan tidak berwenang untuk mengadilinya. Dalam hal ini maka eksepsi tersebut harus diperiksa oleh hakim dan diputus setelah mendengar dari penggugat / pemohon.
Apabila eksepsi tersebut dibenarkan/diterima oleh hakim, maka hakim menyatakan bahwa gugatan tidak diterima dengan alasan bahwa Pengadila Agama tidak berwenang. Dan apabila eksepsi tersebut tidak diterima karena dinilai tidak benar maka hakim memutus dengan verstek biasa.
Apabila kemudian tergugat mengajukan verzet dan di dalam verzet itu mengajukan eksepsi lagi, maka eksepsinya tidak diterima kecuali eksepsi mengenai kewenangan absolute. Jika ternyata perkara tersebut bukan wewenang Pengadilan agama Melainkan menjadi wewenang pengadilan lain, maka eksepsi harus diterima dan hakim harus menyatakan diri tidak berwenang.
4. Penggugat / pemohon dan tergugat / termohon sama-sama tidak hadir dalam persidangan
Jika penggugat / pemohon dan tergugat / termohon tidak hadir dalam siding pertama, maka sidang harus ditunda dan para pihak dipanggil lagi sampai dapat dijatuhkan putusan gugur atau verstek atau perkara dapat diperiksa.
5. Penggugat / pemohon dan tergugat / termohon hadir dalam semua sidang
Apabila para pihak hadir semua dalam persidangan, maka hakim sebelum memulai wajib berusaha mendamaikan para pihak.